Di sebuah kota di Saudi, seorang wanita tinggal dan hidup bersama suami
dan anak-anaknya. Rumah mereka berdampingan betul dengan sebuah masjid.
Namun disayangkan sekali, Allah mengujinya dengan seorang suami yang
pemabuk.
Tidak berlalu satu atau dua hari, kecuali sang suami pasti memukulnya
dan anak-anaknya, bahkan mengusirnya hingga ke jalan. Hampir semua warga
di lingkungan tempat tinggal mereka sebenarnya sangat mengasihaninya
dan anak-anaknya. Apalagi jika mereka melewati rumahnya. Hampir setiap
hari mereka masuk ke masjid untuk menunaikan shalat, namun setelah itu
mereka pulang ke rumah masing-masing tanpa memberikan bantuan apapun,
meski dengan sebuah kalimat penghibur hatinya.
Betapa seringnya mereka melihat dan menyaksikan wanita malang itu
bersama anak-anak kecilnya duduk di samping pintu rumahnya untuk
menunggu sang suami yang pemabuk itu membukakan pintu dan menyuruhnya
masuk, setelah sebelumnya ia mengusirnya bersama anak-anak. Namun itu
hanya sebuah penantian yang sia-sia.
Akhirnya, jika wanita malang itu memastikan bahwa suaminya telah tidur,
ia akan menyuruh salah seorang anak laki-lakinya untuk meloncat ke dalam
dan membuka pintu rumah itu dari dalam. Ia akan segera masuk ke dalam
rumahnya lalu cepat-cepat masuk ke dalam kamar dan menguncinya untuk
menunggu hingga suaminya sadar dari mabuknya. Dan di situ, wanita malang
itupun mulailah mengerjakan shalat dan menangis di hadapan Allah agar
memberikan hidayah dan ampunan bagi suaminya.
Tidak seorang pun jamaah masjid itu -baik imam maupun muadzinnya- yang
mampu berbicara kepada suami pemabuk itu dan memberinya nasihat, walau
demi sang wanita dan anak-anaknya yang telah tersiksa dengan itu semua.
Belum lagi bahwa mereka pun tahu pria pemabuk itu selain tidak takut
kepada Allah dan suka mengganggu, ia juga mempunyai banyak masalah
dengan tetangga-tetangga di lingkungan tinggalnya. Hatinya sangat keras.
Dan wanita malang itu tidak putus-putusnya mendoakan suaminya yang
pemabuk itu di sepertiga akhir malam. Ia memohon kepada Allah dengan
Nama-Nama-Nya yang mulia agar menerangi hati suaminya dengan hidayah
iman. Hari-harinya ia gunakan untuk mendoakan yang terbaik bagi
suaminya, sementara ia dan anak-anaknya terus merasakan siksaan itu dan
tidak seorang pun yang mengasihani mereka atas semua musibah itu, selain
Allah. Tidak ada saudara, ayah dan ibu yang mengayomi. Semuanya
berlepas diri darinya. Semuanya tidak pernah merasakan kehadiran dan
persoalannya. Ia seakan menjadi sosok yang terbuang dari tetangga dan
keluarganya, akibat perilaku sang suami.
Pada suatu hari, ketika wanita malang itu mengunjungi salah seorang
kawannya yang tinggal di lingkungan lain; kepada kawan yang mau membuka
hatinya untuk mendengarkan keluh kesahnya itu ia menceritakan semua
penderitaannya. Tentang apa yang dilakukan oleh suaminya kepada dirinya
dan anak-anaknya ketika ia sedang dipengaruhi oleh minuman keras. Kawan
itu sungguh bersimpati dengan apa yang dialaminya.
“Tenanglah, aku akan menyampaikan kepada suamiku agar menemui dan
menasihatinya,” ujarnya. Dan suaminya adalah pemuda shalih yang bijak,
menyenangi kebaikan untuk orang lain. Ia juga menghafal Al Qur’an dan
senang beramar ma’ruf nahi munkar.
Wanita yang malang itupun setuju dengan syarat kawannya itu tidak
memberitahu bahwa dialah yang memintanya melakukan hal tersebut, karena
jangan sampai suaminya yang pemabuk itu kemudian marah, memukulnya lalu
mengusirnya keluar dari rumah ke jalanan untuk kesekian kalinya jika
mengetahui itu semua. Sang kawan itu sepakat bahwa rencana ini adalah
rahasia antara mereka berdua saja.
Usai shalat isya, suami sang kawan itu pun langsung pergi menemui suami
wanita malang itu. Ia mengetuk pintu rumahnya dan tidak lama kemudian
pria pemabuk itu keluar dengan langkah gontai karena mabuk. Ia membuka
pintu dan ternyata disana ia menemukan seorang pria yang sangat bersih,
jenggotnya panjang dan hitam, wajahnya memancarkan cahaya, dan
kelihatannya usianya belum sampai 25 tahun. Sementara pria pemabuk yang
usianya telah mencapai 40 tahun itu di wajahnya hanya nampak tanda-tanda
kemarahan dan jauh dari Allah. Ia memandang sang pengetuk pintu
rumahnya dan bertanya:
“Siapa kamu? Dan apa yang engkau inginkan?”
“Saya fulan bin fulan. Saya mencintai anda karena Allah dan saya sengaja
datang untuk mengunjungi anda…,” jawab pria muda itu dengan santun.
Namun, belum lagi ia menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba pria mabuk itu
meludahi wajahnya dan mengeluarkan cacian serta makiannya. “Semoga Allah
melaknatmu, wahai anjing!! Ini bukan waktunya untuk berkunjung! Pergi
sana!!” umpatnya penuh kemarahan.
Dari mulut pemabuk itu menyeruak aroma minuman keras, hingga seakan-akan
seluruh lingkungan itu dipenuhi dengan aromanya yang menjijikkan.
Pemuda shalih itu kemudian mengusap ludah yang menempel di wajahnya dan
berkata: “Jazakallah khairan (Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan).
Mungkin aku memang salah karena datang pada waktu yang tidak tepat.
Tapi, saya akan datang lagi untuk mengunjungi Anda di waktu lain, insya
Allah.”
“Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi! Jika engkau datang lagi, aku akan
mematahkan lehermu!!” jawab pemabuk itu sambil membanting pintunya.
Sang pemuda shalih itupun kembali ke rumahnya sembari berkata:
“Alhamdulillah, Allah telah memberikan ludah ini di jalan-Nya. Segala
puji bagi Allah yang telah memberiku kesempatan mendapatkan cacian dan
penghinaan ini dijalan agamaku…”
Di dalam hatinya, ia telah bertekad untuk menyelamatkan wanita itu
beserta anak-anaknya dari penderitaan mereka. Ia merasa bahwa seluruh
dunia ini akan membuka pintu untuknya jika ia dapat menyelamatkan
keluarga itu dari kehancuran. Ia pun mulai mendoakan si pemabuk itu di
saat-saat doa mudah dikabulkan. Ia memohon kepada Allah agar menolongnya
untuk menyelamatkan keluarga itu dari penderitaan abadinya. Kesedihan
memenuhi rongga hatinya, dan kini yang menjadi obsesinya hanyalah
bagaimana melihat si pemabuk itu termasuk orang-orang yang mendapatkan
hidayah.
Ia kemudian berusaha mengunjungi pria pemabuk itu beberapa kali, namun
ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali seperti yang sebelumnya ia telah
dapatkan . Sampai akhirnya, pada suatu waktu, ia bertekad tidak akan
pergi dari depan rumah pemabuk itu kecuali setelah berbicara dan
menyampaikan apa yang ingin disampaikannya. Ia pun mengetuk pintu
rumahnya dan pria pemabuk itu pun keluar dalam keadaan mabuk seperti
biasa.
“Bukankah aku telah mengusirmu dari sini berkali-kali?! Kenapa engkau
keras kepala dan selalu datang lagi padahal aku sudah mengusirmu?!!!”
teriaknya.
“Benar sekali. Tapi aku mencintaimu karena Allah, dan aku ingin duduk
denganmu meski beberapa menit saja, Sebab Nabi shalallahu alaihi
wasallam pernah mengatakan:
‘Barangsiapa mengunjungi saudaranya karena Allah, maka akan menyeru
penyeru di langit; ‘Engkau telah melakukan kebaikan, dan langkahmu baik,
maka engkau telah menempati surga sebagai tempat(mu).’ (HR: At Tirmidzi
dan Ibnu Majah).
Si pemabuk itu mulai malu di hadapan desakan pemuda itu yang terus menerus meski harus mendapatkan semua perlakuannya.
“Tapi sekarang ini aku sedang minum, sementara engkau, dari wajahmu
kelihatannya engkau adalah orang shalih. Aku tidak mungkin membiarkanmu
melihat botol-botol minumanku, karena itu tidak layak untukmu…” ujarnya
mulai melembut.
“Tidak apa-apa! Biarkan aku masuk ke tempat minummu dan melihat semua
botol-botol minumanmu. Biarkan kita mengobrol sambil engkau meminum
minumanmu, sebab aku tidak datang kesini untuk melarangmu minum. Aku
hanya datang untuk mengunjungimu saja…” kata pemuda itu.
“Kalau demikian, silahkan masuk…” ujar sipemabuk itu.
Maka untuk pertama kalinya, pemuda itu masuk ke dalam rumah itu setelah
berkali-kali semua perlakuan buruk dan pengusiran. Dan ketika itu, ia
merasa sangat yakin jika Allah menghendaki sesuatu yang baik untuk pria
itu.
Pemabuk itu mengajaknya masuk ke kamar tempatnya mengonsumsi minuman
keras. Kepada pemabuk itu, pemuda tadi mulai menyampaikan keagungan
Allah, tentang apa yang disiapkan Allah untuk kaum beriman di surga dan
untuk kaum kafir di Neraka dan tentang taubat. Bahwa Allah sangat
mencintai hamba-Nya yang bertaubat jika memohon hidayah pada-Nya. Allah
sangat senang dengan taubat hamba-Nya. Jika seorang hamba-Nya yang
pendosa bertaubat, maka Allah akan menjawab pintanya tiga kali dan tidak
hanya sekali. Ia juga menyinggung pahala saling mengunjungi karena
Allah.
Pemuda itu melihat air muka sang pemabuk menunjukkan tanda-tanda
kebaikan. Pemabuk itu diam mendengarkan apa yang ia sampaikan dengan
tenang. Dan pemuda itu tidak sekalipun menyinggung soal khamr (minuman
keras) dan keharamannya, meskipun ia tahu bahwa meminumnya adalah sebuah
dosa besar. Sampai ia pulang, tak satu kalimat pun tentang khamr yang
diucapkannya. Pemuda itu pulang setelah meminta kepada sang pemabuk itu
untuk mengizinkannya untuk berkunjung dan berkunjung lagi. dan ia
setuju. Pemuda itu pun pulang.
Beberapa hari setelah itu, sang pemuda kembali menemui sang pemabuk yang
rupanya sedang mabuk. namun baru saja ia mengetukkan pintu rumah itu,
segera saja sang pemabuk itu menyambut dan mempersilahkannya masuk ke
tempat ia biasa meminum minuman kerasnya. Ia kemudian mulai berbicara
tentang surga dan apa yang dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang
bertaubat dan menyesali dosanya. Ia memperhatikan bahwa si pemabuk ini
sudah mulai berhenti meminum minumannya jika ia sedang berbicara.
Pemuda itu merasa semakin dekat dengannya dan perlahan-lahan ia mulai
menghancurkan gelas demi gelas minuman keras itu di dalam hatinya
perlahan-lahan. Dan ketidak berlanjutannya meminum adalah pertanda bahwa
ia mulai memahami apa yang diucapkannya. Pemud aitu kemudian
mengeluarkan sebuah botol parfum yang sangat mahal dari kantongnya. Ia
memberikannya sebagai hadiah kepada si pemabuk itu dan segera keluar
dari rumah tersebut. Hari itu, ia sangat bahagia dengan apa yang
berhasil dilakukannya dalam kunjungan kali itu. Ada perkembangan yang
berarti…
Beberapa hari kemudian, ia kembali mendatangi pria pemabuk itu dan ia
menemukannya telah mengalami perubahan yang luar biasa. Meskipun ia
masih dalam keadaan mabuk berat, namun keadaannya telah jauh berbeda.
Kali ini, setelah pemuda itu berbicara tentang Surga dan Neraka, pemabuk
itu menangis seperti anak-anak sambil berujar: “Allah pasti tidak akan
menerima taubatku! Allah pasti tidak akan mengampuniku! Aku ini membenci
ulama, membenci orang-orang shalih, bahkan membenci semua orang! Bahkan
membenci diriku sendiri! Aku ini binatang pemabuk! Allah tidak akan mau
menerimaku, tidak akan mau menerima taubatku meskipun aku bertaubat.
Kalau Allah mencintaiku, Ia tidak akan membiarkanku meminum minuman
keras ini. Ia tidak akan membuatku dalam kondisi ini, kedurjanaan yang
kujalani selama bertahun-tahun lalu…”
Sambil memeluknya, pemuda shalih itu berkata padanya:
“Allah akan menerima taubatmu. Dan orang yang bertaubat itu seperti
orang yang tidak mempunyai dosa. Pintu taubat itu akan selalu terbuka,
tidak ada seorang pun yang dapat menghalangimu dengan Allah. Kebahagiaan
itu sepenuhnya adalah dalam agama ini. Apa yang akan terjadi di hari
esok pasti jauh lebih indah jika engkau memohon hidayah pada Allah
dengan hati yang sungguh-sungguh. Tidak ada yang harus engkau lakukan
kecuali memohon hidayah pada Allah dengan hati yang ikhlas. Allah pasti
akan menerimamu…”
Ia kemudian mengatakan bahwa ia akan melakukan perjalanan ke Makkah
dengan beberapa orang kawannya. Ia menawarkan kepada sang pemabuk itu
untuk ikut serta. Namun si pemabuk itu berkata: “Tapi aku ini pemabuk.
Kawan-kawanmu pasti tidak mau aku menyertai mereka dalam perjalanan
ini…”
“Jangan berpikir begitu! Mereka mencintaimu seperti aku juga demikian.
Tidak akan menjadi masalah bagi mereka jika engkau menyertai mereka
dengan kondisimu seperti ini. Kita akan pergi ke Makkah untuk menunaikan
umrah. Begitu selesai, kita akan segera kembali ke kota ini. kami akan
sangat berbahagia dengan keberadaanmu di sepanjang perjalanan kami…”
ujar pemuda shalih itu.
Sang pemabuk itu berkata, “Apakah kalian akan mengizinkan aku untuk
membawa botol-botol minumanku bersama kalian, karena aku tidak bisa
berpisah darinya sekejap pun?”
Dengan sangat gembira, pemuda shalih itu menjawab: “Bawalah bersamamu jika memang ia harus dibawa!”
Pandangan pemuda shalih itu sangat jauh ke depan, meskipun resikonya
sangat besar jika ia membawa botol-botol minuman itu di dalam mobilnya.
Apalagi dengan membawa serta seorang pemabuk dan dalam kondisi mabuk
pula. Sebab perjalanan ke Makkah dipenuhi pos-pos pemeriksaan polisi.
Namun ia memilih untuk mengambil resiko itu demi menyelamatkan wanita
malang itu bersama anak-anaknya. Karena siapa yang berusaha untuk
mewujudkan suatu tujuan yang agung, semua masalah menjadi kecil dalam
pandangannya.
“Bangunlah sekarang lalu mandi dan berwudhulah, kemudian kenakan pakaian ihrammu…,” ujar pemuda itu pada sang pemabuk.
Pemuda itu keluar menuju mobilnya untuk mengambilkan pakaian ihram
khusus miliknya untuk pria pemabuk itu. Biarlah ia nanti membeli yang
lain lagi untuk ia kenakan. Setelah pria pemabuk itu mulai bersiap-siap,
ia menemui istrinya dan berkata: “Aku akan pergi ke Makkah untuk
menunaikan umrah bersama beberapa orang Syaikh…”
Binar-binar kebahagiaan segera memancar di wajah wanita itu ketika
mendengarkan ucapan itu. Ia segera menyiapkan tas suaminya. Pria pemabuk
itu segera mandi dan mengenakan pakaian ihramnya, meski ia masih dalam
kondisi mabuknya.
Pemuda shalih itu menyuruhnya bergegas, jangan sampai kemudian ia
berubah pikiran lagi untuk tidak ikut serta bersama mereka untuk
bersama-sama menunaikan umrah. Ia benar-benar tidak percaya telah
mendapatkan kesempatan besar untuk hanya berdua dengan sang pemabuk itu
dan menjauhkannya dari kondisi yang mengingatkannya untuk mabuk dan juga
dari kawan-kawan jahatnya. Kalau saja ia sadar, boleh jadi ia tidak
akan mau ikut atau setan akan berusaha menahannya dari pintu lain
sehingga tidak mau ikut serta menunaikan umrah bersamanya. Setelah
menghubungi kawan-kawannya, pemuda itu segera pergi menjemput mereka
untuk bersama-sama pergi menunaikan umrah.
Tidak lama kemudian, mobil itupun meluncur menuju Makkah. Pemuda shalih
itu yang menyetirnya dan disampingnya duduk pria pemabuk itu. Sementara
di kursi belakang duduklah dua orang kawannya yang ikut serta bersama
mereka. Sepanjang perjalanan ia terus membaca surah-surah pendek dan
beberapa hadits Nabi dari kitab Shahih Al Bukhari, dan semuanya membahas
tentang taubat.
Sementara pria pemabuk itu sama sekali tidak tahu bagaimana membaca
surah Al Fatihah. Ketika giliran membaca itu sampai padanya, ketiga
kawan
perjalanannya itu harus membacakan
surah itu tiga kali untuk membenarkan bacaannya yang salah tanpa harus
mengatakan: “Kamu salah!” atau “Tidak masuk akal ada orang yang salah
dalam membaca surah Al Fatihah.” Demikianlah hingga akhirnya mereka
selesai membaca surah-surah pendek beberapa kali dan juga membaca
Hadits-hadits tentang keutamaan amal shalih, dan pria pemabuk itu
mendengarkan dengan tenangnya…
Dan sebelum tiba di Makkah, ketiga sahabat itu sepakat bahwa mereka
tidak akan masuk ke kota Makkah kecuali jika kawan pemabuk itu telah
benar-benar sadar dari mabuknya. Mereka memutuskan untuk bermalam di
salah satu tempat peristirahatan dengan alasan kelelahan dan ingin tidur
dulu hingga Shubuh menjelang, untuk kemudian melanjutkan perjalanan
mereka.
Sang pemabuk itu mendesak mereka bahwa ia bisa menyetir mobil itu jika
mereka ingin tidur di dalam mobil itu sepanjang perjalanan, karena ia
tidak bisa tidur sama sekali. Namun mereka mengatakan: “Terima kasih,
Jazakallah khairan dan semoga Allah memberkahimu. Tapi kami ingin
menikmati perjalanan ini bersamamu. Biarlah kita menghabiskan waktu
sebanyak mungkin bersama.”
Ia pun terpaksa menyetujuinya. Mereka akhirnya masuk ke salah satu
tempat peristirahatan di pinggir jalan. Mereka menyiapkan sebuah alas
tidur untuk kawan pemabuk mereka dan mereka sengaja mengaturnya tidur di
antara mereka agar ia dapat melihat apa yang nanti mereka kerjakan.
Mereka kemudian membahas etika tidur dan bagaimana mereka tidur sesuai
dengan sunnah sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wasallam tidur. Kawan
pemabuk itu memperhatikan dan mengikuti apa yang mereka lakukan, hingga
beberapa menit kemudian ia pun tertidur dengan lelapnya.
Sebelum tiba waktu Shubuh, ketiga sahabat itu bangun dan mengerjakan
shalat malam di sepertiga akhir malam. Mereka mendoakan kawan pemabuk
mereka yang terlelap dalam tidurnya akibat pengaruh alkohol. Mereka
sujud dan berdoa di hadapan Allah untuk memberikannya petunjuk dan
mengembalikannya ke dalam agama-Nya dengan sebaik-baiknya. Ketika ia
masih terlelap dalam tidurnya, tiba-tiba ia terbangun dan melihat ketiga
pemuda itu sedang mengerjakan shalat malam. Mereka menangis dan meratap
di hadapan Allah. Tiba-tiba menyelusup sebuah perasaan takut dalam
dirinya. Ia mulai sadar dari mabuknya sedikit demi sedikit.
Ia terus mengawasi apa yang dilakukan oleh pemuda itu di waktu malam.
Sementara ia dibalik selimutnya menyembunyikan tubuhnya yang rapuh,
kegelisahannya yang berat serta rasa malunya yang begitu besar kepada
para pemuda itu dan juga kepada Allah. Ia mulai bertanya kepada dirinya
sendiri: “Bagaimana mungkin aku pergi bersama orang-orang shalih itu,
mereka bangun mengerjakan shalat malam, menangis karena takut kepada
Allah, mereka tidur dan makan seperti Sunnah Nabi shalallahu alaihi
wasallam, sementara aku dalam kondisi mabuk!”
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepalanya hingga ia mulai tidak
bisa melanjutkan tidurnya kembali. Dan tidak lama kemudian muadzin
mengumandangkan adzan Shubuh. Ketiga pemuda itu kembali ke pembaringan
mereka seakan mereka tidak pernah bangun sebelumnya.
Tidak lama kemudian, mereka pun membangunkan kawan pemabuk itu untuk
shalat Shubuh. Mereka tidak tahu bahwa sejak tadi ia mengawasi apa yang
mereka lakukan dari balik selimutnya. Ia pun bangun untuk berwudhu, lalu
pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat Subuh bersama ketiga pemuda
itu. Kali ini sudah jauh lebih seimbang dari sebelumnya. Ia mengerjakan
shalat Subuh bersama mereka, lalu kembali ke tempat istirahatnya bersama
ketiga kawannya yang ia cintai karena sifat-sifat mulia dan keteguhan
mereka berpegang pada agama dan memperlakukannya dengan hormat
sebagaimana layaknya manusia. Dan ia belum pernah melihat yang seperti
itu sebelumnya…
Setelah itu, mereka menyiapkan sarapan pagi dan berupaya berkhidmat
melayani kawan pemabuk itu seakan dialah pemimpinnya dan mereka adalah
para pembantu yang melayani dan memuliakannya. Dari waktu ke waktu,
mereka berbicara dengan kalimat-kalimat yang indah, sehingga ia merasa
sangat bahagia di tengah mereka. Ia mulai membandingkan keadaannya
diantara para tetangganya yang mengatakan sangat membencinya. Ia
mendengarkan obrolan mereka tentang adab-adab makan.
Mereka kemudian makan apa yang ada hingga tiba waktu syuruq (terbitnya
matahari). Mereka lalu berdiri mengerjakan shalat dhuha, lalu kembali
tidur hingga kurang lebih jam 10 pagi agar dapat meyakinkan bahwa kawan
mereka yang satu itu benar-benar telah sadar sepenuhnya dari mabuknya
dan kembali normal seperti sedia kala.
Setelah ia sadar kembali, barulah kawan pemabuk itu merasa malu dan
tidak enak hati. Ia kemudian menarik kawan pemudanya dan berbisik:
“Bagaimana mungkin engkau mengajakku dalam keadaan mabuk bersama para
‘Syaikh’ yang shalih itu? Mudah-mudahan Allah memaafkanmu! Lagipula aku
menemukan botol minumanku ada di mobil. Siapa pula yang membawanya?”
Pemuda shalih itu menjawab: “Akulah yang membawanya setelah aku
melihatmu bersikeras untuk membawanya dan engkau tidak akan ikut serta
bersama kami jika engkau tidak membawanya!”
“Apakah kawan-kawanmu itu melihatnya?” tanya kawan pemabuk itu.
“Tidak. Mereka tidak melihatnya karena ia berada dalam sebuah kantong hitam,” jawab si pemuda.
“Alhamdulillah, syukurlah jika mereka tidak melihatnya…,” ujarnya.
Setelah itu, mereka pun bergerak menuju Makkah. Kawan pemabuk itu
bersama mereka. Dan apa yang mereka lakukan terhadapnya pada awal
perjalanannya itu pula yang mereka lakukan terhadapnya dalam perjalanan
lanjutan itu. Mereka membaca surah-surah pendek dan hadits-hadits
motivasi sepanjang perjalanan. Mereka memperhatikan bahwa kawan pemabuk
itu sudah mulai membaca surah-surah pendek itu lebih baik dari
sebelumnya. Banyak yang mereka baca sepanjang perjalanan itu hingga
mereka tiba di Makkah dan memasuki Masjidil Haram. Dan mereka tetap
memuliakan kawan pemabuk mereka itu dengan sebaik-baiknya…
Mereka melakukan thawaf dan sa’i, kemudian meminum air zamzam. Lalu
kawan pemabuk itu meminta izin untuk pergi ke Multazam (dinding yang
terletak di Ka’bah antara Hajar Aswad dengan Pintu Ka’bah). Mereka pun
mengizinkannya, dan ia kemudian pergi kesana bersama pemuda shalih itu…
Ia berpegang di multazam dan mulai menangis dengan suara seakan
tiang-tiang Ka’bah itu bergetar oleh tangisan dan ratapan pria pemabuk
itu. Air matanya menetes membasahi pelataran Ka’bah. Pemuda shalih itu
mendengar tangisannya, dan ia pun menangis seprti itu. Ia mendengarkan
doanya, lalu mengaminkannya dari belakang…
Sebuah pemandangan yang menggetarkan hati jika engkau melihatnya. Pria
mabuk itu berdoa kepada Allah agar berkenan menerima taubatnya. Ia
berjanji pada Allah untuk tidak akan kembali pada minuman keras lagi dan
ia memohon agar Allah mau menolongnya untuk itu. Tidak ada doa yang ia
ketahui selain: “Ya Tuhanku, kasihinilah aku. Ya Tuhanku, aku sudah
terlalu banyak melakukan dosa, maka kasihinilah aku, karena Engkau
adalah Penguasa langit dan bumi. Jika engkau menolakku dari pintu
Rahmat-Mu, maka kepada siapa aku harus kembali. Jika Engkau tidak
menerima taubatku, maka siapa lagi selain-Mu yang akan mengasihiku.
Duhai Tuhanku, sungguh pintu-pintu rahmat-Mu terbuka luas dan aku
memohon pada-Mu jangan Kau menolakku sia-sia…”
Doanya benar-benar menggetarkan jiwa sampai-sampai membuat orang-orang
di dekatnya ikut pula menangis. Tangisannya sungguh membuat terenyuh
hati, seakan engkau merasa ruhnya telah lepas terbang menuju langit
ketika ia mulai berdoa pada Tuhannya. Ia menangis dan memohon
pertolongan hingga kawan pemudanya benar-benar merasakan keprihatinan
yang sangat dalam. Ia terus berada dalam kondisi seperti ini selama satu
jam. Ia tak berhenti menangis, meratap dan berdoa kepada Allah,
sementara kawan pemudanya ikut menangis dibelakangnya. Sebuah
pemandangan yang luar biasa…
Seorang pria berusia lebih 40 tahun, bergantung di kain kiswah Ka’bah.
Dan yang paling membuat hati tersentuh untuk menangis adalah doa yang
diucapkannya: “Duhai Tuhanku, aku selalu memukul dan mengusir istriku
jika aku larut dalam mabukku, ampunilah aku ya Allah atas semua yang
kulakukan terhadapnya…
Ya Tuhanku, sesungguhnya kasih sayang-Mu meliputi segala sesuatu, dan
aku mohon kepada-Mu, Tuhanku agar Engkau meliputiku dengan rahmat-Mu…
Tuhanku, aku berdiri di hadapan-Mu, maka jangan Engkau membiarkanku dengan tangan kosong…
Tuhanku, jika Engkau tidak mengasihiku, maka siapa lagi selain-Mu yang akan mengasihiku…
Ya Tuhanku, sungguh aku bertaubat, maka terimalah taubatku. Katakanlah
padaku: ‘Aku datang, Aku datang, wahai hamba-Ku!’ Ya Tuhanku, kumohon
jangan palingkan wajh-Mu dariku…
Wahai Tuhanku, lihatlah kepadaku, karena aku telah memenuhi bumi ini dengan airmata yang ada padaku…
Wahai Tuhanku, sungguh aku berdiri di hadapan-Mu, aku kini bertamu di
rumah-Mu yang dimuliakan, maka jangan perlakukan aku seperti manusia
memperlakukankukarena manusia itu jika aku meminta pada mereka, mereka
menolakku bahkan meremehkanku…
Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, terangilah mata hatiku. Ya Allah,
buatlah cahaya-Mu itu meliputiku, buatlah aku benci kepada minuman keras
sepanjang hidupku…
Tuhanku, janganlah Engkau marah kepadaku dan janganlah Engkau murka
padaku betapa seringnya aku membuat-Mu marah dengan dosa-dosaku yang tak
terhitung. Aku durhaka padamu dan Engkau melihat apa yang kuperbuat…”
Disaat seperti itu, pemuda shalih itu memintanya agar mendoakannya pula
kepada Allah. Tapi permintaan itu justru membuatnya semakin menangis, ia
mengatakan: “Ya Tuhanku, apakah dari orang seperti aku diminta untuk
mendoakan orang lain?!!
Ya Tuhanku, aku sungguh telah durhaka pada-Mu selama 25 tahun lamanya.
Namun Engkau tak meninggalkanku dan membiarkanku tenggelam dalam dosa…
Tuhanku, aku adalah orang fasik dan berdosa, aku berdiri di pintu-Mu, maka jadikanlah aku termasuk hamba-hamba-Mu yang shalih…
Demikianlah ia terus meratap dan menangis. Engkau tak akan mendengarkan
apa-apa selain suara yang diliputi kesedihan dan ratapan.
Muadzin mengumandangkan adzan Ashar. Mereka pun duduk untuk mengerjakan
shalat, sementara sang pemabuk yang telah bertaubat itu masih saja
bergantung di kain penutup Ka’bah, menangis hingga kawannya benar-benar
kasihan padanya, lalu kemudian memapahnya untuk duduk di shaf
orang-orang yang shalat agar ia dapat beristirahat dari tangisannya…
Pemuda itu memapahnya dan memelukknya seakan ia adalah ibu atau ayahnya.
Ia pun mengerjakan shalat dua rakaat sebelum Ashar yang semuanya
diliputi tangisan dengan suara sesenggukan yang menyayat hati dan
menggetrakan hati orang-orang di sekelilingnya. Sungguh, doa sang istri
di tengah malam telah dikabulkan oleh Allah. Doa sang pemuda shalih itu
juga akhirnya berbuah manis…
Begitu pula doa kawan-kawannya yang lain di waktu malam, semuanya telah
mencapai tujuan yang ingin mereka capai dari perjalanan mereka itu.
Benarlah bahwa doa itu dapat membuat seorang berubah menjadi sosok yang
berbeda dalam sekejap saja…
Shalat pun selesai sudah ditunaikan. Mereka kemudian keluar dari
Masjidil Haram untuk mencari hotel di dekat Masjid itu dan airmata masih
saja mengalir memenuhi wajahnya…
Kebetulan salah seorang dari rombongan itu adalahseorang hafizh al
Quran. Dan ia adalah orang yang sangat tawadhu, rendah hati dan murah
senyum. Maka ketika ia melihat betapa besarnya perubahan kawan pemabuk
mereka itu, ia pun semakin memuliakannya, sampai-sampai ia bersikeras
untuk membawakan sendal sang pemabuk untuk dikenakannya di luar pintu
Masjidil Haram. Tindakan dari sang Hafizh Al Quran ini menyeruakkan
berbagai perasaan luar biasa yang hanya diketahui oleh Allah dalam hati
sang pemabuk itu.
Mereka akhirnya menyewa kamar di sebuah hotel yang tidak jauh dari
Masjidil Haram. Disana mereka tinggal selama lima hari dan pemabuk yang
telah bertaubat itu setiap hari di waktu shalat datang ke Masjidil
Haram, bergantung di Multazam, menangis dan membuat orang-orang di
dekatnya ikut menangis. Dan di waktu malam, ia bangun untuk shalat dan
menangis. Nyaris engkau tidak pernah melihatnya tidur. Siang hari ia
menangis di Masjidil Haram, lalu di waktu malam ia bangun untuk shalat
dan berdoa pada Allah dengan suara penuh tangisan.
Dan setelah perjalanan itu usai, mereka pun kembali ke kota mereka.
Ketika mereka sedang dalam perjalanan pulang, ‘sang pemabuk’ itu meminta
agar mereka berhenti sebentar. Mereka pun berhenti sebentar mengikuti
permintaannya. ‘Sang pemabuk’ itu kemudian mengeluarkan botol minumannya
dari kantong hitam di depan kawan pemudanya dan dua kawan lain yang
menyertainya. Ia menuangkan semua isinya dan berkata: “Persaksikanlah
hari yang sangat agung dalam hidupku ini, aku tidak akan kembali lagi
meminumnya…” Ia menuangkan semua isinya sambil menangisi semua dosa yang
telah ia lakukan.
Mata kawan-kawannya pun dipenuhi air mata. Mereka ingin berbicara namun
mereka tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Airmata jauh lebih kuat
daripada sebuah ucapan. Mereka pun menangis. Mereka lalu melanjutkan
perjalanan mereka. Kebisuan meliputi perjalanan itu, lalu suara
sesengguk mulai terdengar dan tiba-tiba suara tangispun meliputi mereka…
Sebelum mereka akhirnya tiba di kota mereka, mereka berkata kepadanya:
“Sekarang engkau akan masuk ke rumahmu dengan wajah berseri-seri, penuh
kasih dan sayang kepada keluargamu…”
Mereka memberinya nasihat untuk memperlakukan anak istrinya dengan baik
dan menjaga shalat berjamaahnya di masjid dekat rumahnya. Jika ia terus
meniti jalan petunjuk dan taubat itu akan menjadi sebab ia mendapatkan
rahmat Allah. “Demi Allah, aku tidak akan pernah mendurhakai Allah untuk
selamanya,” ujarnya.
“Insya Allah,” ujar kawan-kawan seperjuangannya dengan airmata yang memenuhi kelopak mata mereka.
Ia akhirnya tiba di rumahnya. Ia masuk menemui istri dan anak-anaknya
dan kondisinya telah benar-benar jauh berbeda. Sang istri tidak berusaha
menyembunyikan rasa gembiranya atas apa yang ia saksikan. Ia menangis
dan memeluk suaminya. Suaminya pun menangis dan mengecup keningnya. Ia
kemudian mengecup anak-anaknya satu persatu sambil menangis.
Hari-hari selanjutnya ia penuhi dengan kehadirannya untuk shalat di
masjid dekat rumahnya. Perlahan-lahan tanda-tanda kebaikan nampak di
wajahnya. Jenggotnya ia pelihara dan nampak memutih. Wajahnya mulai
memancarkan tanda-tanda kebahagiaan. Ia seperti baru dilahirkan kembali.
Begitulah hari demi hari berlalu, hingga suatu hari ia meminta kepada
imam masjid untuk dapat membantu muadzin mengumandangkan adzan setiap
hari. Sang imam menyetujuinya, hingga akhirnya sang muadzin resmi masjid
itu meninggal dunia. Ia pun menggantikan kedudukannya. Ia juga mulai
menghadiri majelis-majelis ilmu. Lalu ia memutuskan untuk menghafalkan
Al Quran hingga akhirnya ia berhasil menyelesaikan hafalannya.Ia
kemudian diangkat menjadi iamm Masjid di samping rumahnya, hingga hari
ini.
(Sumber: ‘Apakah Ada Yang Mengambil Pelajaran’, Chicken Soup for Mulim,
Penerbit Sukses Publishing via gizanherbal.wordpress.com)