<1>. Setiap
pekerjaan yang merupakan pembuatan hukum, pemutusan dengan hukum
buatan, pembelaan kepada thaghut atau sistemnya, mengikuti atau
menyetujui sistem thaghut, ada syarat sumpah atau janji setia kepada
thaghut atau sistemnya, maka semua ini adalah KEKAFIRAN.
A. PEKERJAAN YANG MERUPAKAN PEMBUATAN HUKUM
Pembuatan hukum adalah hak khusus Rububiyyah Alllah Ta’ala karena Dia adalah yang menciptakan maka hanya Dia-lah dzat yang berhak menentukan hukum bagi ciptaan-Nya, Dia Ta’ala berfirman:
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah…” (Al A’raf: 54)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah…” (Al An’am: 57)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” (Yusuf: 40)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah” (Yusuf: 67)
Allah Ta’ala tidak menyertakan
satu makhluk pun di dalam hak khusus pembuatan hukum ini baik itu
malaikat ataupun para nabi, karena hanya Dia-lah dzat yang menciptakan:
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً
“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)
Dan di alam qira-ah Ibnu Amir yang mutawatir di baca:
وَلَا تُشْرِكْ فِي حُكْمِهِ أَحَداً
“Dan janganlah kamu mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ ٦٨ وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ ٦٩ وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ ٧٠
“Dan Tuhan mu menciptakan apa yang
dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.
Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan
(dengan Dia). Dan Tuhan mu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam)
dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dia-lah Allah, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nya lah Segala Puji di
dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya lah Segala Penentuan Hukum dan hanya
kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (Al Qashash: 68-70)
لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan bagi-Nya lah segala penetuan hukum dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (Al Qashash: 88)
Serta ayat-ayat muhkamat lainnya yang menjelaskan bahwa penetuan hukum baik hukum kauniy mapun hukum syar’i
adalah hak khusus Allah ta’ala yang bila sebagiannya disandarkan atau
dipalingkan kepada selain-Nya maka itu berarti bentuk penyekutuan
terhadap-Nya, bentuk pengangkatan tuhan selain-Nya dan bentuk
pengangkatan tandingan bagi-Nya, sedangkan itu adalah kekafiran.
ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِم يَعْدِلُونَ
“Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka” (Al An’am: 1)
Bila orang yang menyandarkan hak tersebut kepada selain Allah Ta’ala adalah
divonis MUSYRIK lagi KAFIR, maka bagaimana halnya dengan orang yang
mengakui hak pembuatan hukum itu ada pada dirinya atau kelompoknya atau
lembaganya, maka tidak ragu lagi bahwa orang semacam ini lebih KAFIR
LAGI karena mengakui dirinya tuhan, walaupun dia tidak membuat hukum,
sebagaimana yang diklaim oleh lembaga-lembaga legislatif dengan semua
tingkatannya dan para anggota di dalamnya yang diberi kewenangan
pembuatan UUD atau UU seperti yang tertuang di dalam UUD 1945.
وَمَن يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِّن دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ
“Dan barangsiapa diantara mereka
mengatakan: “sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Allah”, maka
orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan
pembalasan kepada orang-orang zalim” (Al Anbiya: 29)
Kami adalah para anggota legislatif yang
berwenang membuat UU makna artinya kami adalah tuhan-tuhan selain Allah.
Orang-orang semacam ini lebih KAFIR daripada para nabi palsu seperti
Musailamah Al Kadzdzab dan yang lainnya.
Para pembuat hukum dan UU itu telah
divonis dengan berbagai vonis yaitu: arbab, wali-wali syaitan,
sekutu-sekutu yang disembah, thaghut dan aulia (pemimpin-pemimpin) kesesatan, serta orang-orang bodoh.
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang
‘alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan” (At Taubah: 31)
Bentuk pentuhanan diri yang dilakukan
‘alim ‘ulama dan para rahib di sini adalah pembuatan hukum yang mereka
lakukan, dimana RasulullahShallallahu ‘Alaih Wa Sallam berkata dalam hadits hasan perihal tafsir ayat ini kepada Adiy ibnu Hatim radliyallahu ‘anhu “Bukankah
mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian (ikut)
menghalakannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian
kalian (ikut) mengharankannya?” Adiy menjawab: “Ya”, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaih Wa Sallam berkata: “Maka itulah peribadatan kepada mereka.”
Dan itu adalah yang dilakukan para
legislatif dan pejabat tertentu yang diberikan kewenangan pembuatan
hukum dan UU. Jadi setiap person para anggota legislatif adalah MUSYRIK
KAFIR lagi dipertuhankan selain Allah ta’ala, dan MURTAD bila asalnya
muslim dan bila mengatasnamakan ajaran maka dia itu orang yang
mengada-ada kebohongan terhadap Allah ta’ala.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْكَافِرِينَ
“Dan siapakah yang lebih zalim
daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau
mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah
dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang kafir?” (Al ‘Ankabut: 68)
Mereka juga divonis sebagai wali-wali syaithan, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah kefasiqan. Sesungguhnya
syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu dan
jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi
orang-orang yang musyrik” (Al An’am: 121)
Ayat ini di antaranya berkaitan dengan
perdebatan anatara Aulia Ar Rahman dengan Aulia Asy Syaithan (kafirin
Quraisy), dimana orang-orang kafir menghalalkan bangkai dan mendebat
kaum muslimin agar ikut menghalalkannya, Al Hakim meriwayatkan dengan
sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma mereka berkata: “Apa
yang disembelih Allah maka kalian tidak memakannya, sedang yang kalian
sembelih maka kalian memakananya; maka Alllah menurunkan… Sesungguhnya
syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu…”. Di sini hanya satu hukum saja yaitu pengahalalan bangkai, namun Allah ta’ala memvonis
orang yang menurutinya sebagai orang musyrik, dan pembuatnya sebagai
wali (kawan) syaithan, dan hukum itu sebagai wahyu (bisikan) syaithan.
Sedangkan yang dilakukan para anggota
legislatif adalah lebih dari itu; penghalalan (pembolehan atau peniadaan
sangsi) yang haram, pengaharaman (penetapan sebagai kejahatan dan
tindak pidana atau penetapan sangsi) hal yang halal, dan pembuatan
ketentuan-ketentuan yang menyelisihi syari’at Allah ta’ala, maka mereka itu adalah wali-wali syaithan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang
dikala menghalalkan suatu yang haram yang telah di ijma’kan atau
mengharamkan suatu yang halal yang sudah di ijma’kan atau mengganti
aturan yang sudah di ijma’kan, maka dia itu kafir lagi murtad dengan
kesepakatan para fuqaha” (Majmu Al Fatawa)
Mereka juga adalah syuraka (sekutu-sekutu) yang disembah selain Allah sebagaimana firman Nya ta’ala:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien yang tidak diijinkan Allah” (Asy Syura: 21)
Sedangkan diantara makna Dien adalah hukum atau UU, sebagaimana firman Nya ta’ala:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut dien (UU) raja” (Yusuf: 76)
Jadi para pembuat hukum atau UU itu adalah yang disembah selain Allah ta’ala dengan ketaatan para aparat penegak hukum kepada hukum buatan mereka itu “…dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik…” (Al An’am: 121) ”…mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…” (At
Taubah: 31) berikut tafsir hadits bahwa ibadah di ayat ini adalah
ketaatan kepada hukum buatan mereka, sedangkan ketaatan atau
kekomitmenan merujuk kepada hukum selain Allah ta’ala adalah ibadah kepada si pembuat hukum itu.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah berkata: “Bahwa setiap orang yang itiba’
(mengikuti) aturan, uu dan hukum yang menyelisihi apa yang allah ta’ala
syari’atkan lewat lisan rasul nya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
dia itu musyrik kepada allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu
sebagai tuhan.” (Risalah Al Hakimiyah Fi Tafsir Adlwail Bayan), dan
beliau berkata juga: “Penyekutuan di dalam hukum adalah sama seperti
penyekutuan di dalam ibadah.”
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Ulama
telah ijma’ bahwa barang siapa memalingkan sesuatu dari dua macam doa
kepada selain Allah maka dia itu musyrik meskipun mengucapkan laa ilaaha
illallah, dia shalat dan shaum serta mengaku muslim” (Ibthalut Tandid:
76). Dua doa disini adalah doa ibadah dan doa mas-alah (permintaan),
sedangkan penyandaran ketaatan adalah termasuk doa ibadah. Itu orang
yang menyandarkan, maka bagaimana halnya dengan orang yang menerima
penyandaran ibadah dan mengajak manusia kepadanya seperti para anggota
legislatif itu…! Sungguh mereka lebih kafir dari Musailamah dan Mirza
Ghulam Ahmad serta para pengaku nabi lainnya. Mereka juga adalah thaghut
sebagaimana firman Nya ta’ala:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيداً
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk
kafir kepada thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisa: 60)
Thaghut di dalam ayat ini di antaranya adalah para pembuat hukum, Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata
perihal tokoh para thaghut yang kedua: ”Penguasa yang aniaya dan
merubah aturan-aturan Allah” (Risalah Fi Ma’na Thaghut di dalam Majmu’ah
At Tauhid). Jadi semua anggota legislatif itu adalah thaghut yang
diibadati, sama seperti patung-patung yang dipajang di candi Borobudur,
bila patung-patung itu diibadahi dengan doa, sesajian dan ritual
lainnya, maka berhala-berhala berdasi di biara parlemen dan gedung dewan
itu diibadati dengan ditaati hukum hasil buatannya…
أَأَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf: 29).
Mana yang lebih baik, hukum
yang diturunkan Allah ta’ala yang mengetahui segalanya ataukah hukum
buatan orang-orang kafir dan murtad yang memiliki aneka macam
kepentingan dan selalu ditemani syaithan…?
Mereka juga divonis sebagai pemimpin-pemimpin kesesatan sebagaimana firman Nya:
اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah mengikuti aulia (pemimpin-pemimpin) selain-Nya” (Al A’raf: 3)
Apa yang digulirkan oleh para anggota
legislatif itu jelas bukan apa yang Allah turunkan, sehingga mereka itu
adalah para pemimpin kesesatan dan kekafiran yang mengajak manusia
kepada hukum (dien) mereka yang zalim seluruhnya walaupun mereka
menyebutnya sebagai keadilan, karena syirik adalah kezaliman yang sangat
besar, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang sangat besar“(Luqman: 13)
Mereka juga divonis sebagai orang-orang bodoh, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui”. (Al Jatsiyah: 18)
Jadi para anggota legislatif
itu adalah orang-orang yang tidak mengetahui alias orang bodoh, karena
semua orang kafir pada hakikatnya adalah orang-orang yang
bodoh,sebagaimana firman-Nya ta’ala:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
“Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah hai orang-orang yang bodoh…?” (Az Zumar: 64),
Ini karena :
لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
“Mereka mempunyai hati, tapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunya
mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Alla). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi” (Al A’raf: 179)
Itulah vonis-vonis Allah ta’ala bagi
para anggota legislatif (MPR, DPR, DPRD dan yang serupa itu) dan bagi
para pembuat hukum atau UU dan para pengklaim memiliki kewenangan itu
walau tidak membuat. Maka masih adakah yang meragukan kekafiran mereka…?
atau adakah orang yang memberi udzur sebagian mereka dengan udzur
takwil atau ijtihad dan yang serupa itu padahal dia tidak mengudzur yang
kekafirannya di bawah kekafiran para pengaku tuhan itu…?
Sungguh tidak ada yang meragukan
kekafiran mereka kecuali orang kafir seperti mereka atau para penganut
paham bid’ah yang berpijak di atas syubhat, atau katak dalam tempurung
yang tidak mengetahui realita yang terjadi di sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar