Akhir-akhir ini
fans Arsenal sering diolok-olok fans klub lain yang berhasil memboyong
pemain terbaik Arsenal musim lalu, Robin Van Persie dan Alex Song. Van
Persie sebagai pencetak gol terbanyak dengan 37 gol dan Alex Song
sebagai pengumpan terbaik dengan 14 assist musim lalu. Van Persie yang
kontraknya dengan Arsenal sisa setahun dijual ke Manchester United
dengan harga £22,5 juta + add on £1,5 juta tergantung pencapaiannya
bersama klub barunya. Alex Song yang kontraknya masih sisa 3 tahun
bersama Arsenal dijual ke Barcelona dengan harga £15 juta. Penjualan
dua pemain terbaik Arsenal musim lalu ini kontan menjadi cibiran fans
klub baru mereka, Manchester United dan Barcelona. Tuduhan bahwa Arsenal
adalah “selling club”, “feeder club”, tidak berambisi untuk menjadi
juara, muntah dari mulut mereka, sambil mengabaikan fakta bahwa Arsenal
sudah membeli 3 pemain internasional sebelum menjual RVP dan Song:
Giroud top skorer liga Perancis musim lalu, Podolski langganan timnas
Jerman, dan Cazorla, pemain Spanyol yang sudah memegang trofi Piala Euro
2 kali.
Arsenal membeli
ketiga pemain itu dengan harga relatif murah, ketiganya di bawah angka
£20 juta. Sebagai catatan selama ini Arsenal belum pernah membeli pemain
di atas £20 juta. Klub pelit kata mereka dan mungkin sebagian dari kita
(Gooners). Padahal kalau saja fans memahami bagaimana model finansial
Arsenal bekerja, pujianlah seharusnya yang diberikan kepada Arsenal.
Bagaimana Arsenal bisa menjalankan klub dan tetap berkompetisi di tengah
arus uang yang tidak wajar yang beredar di klub-klub papan atas Eropa.
Tulisan ini akan sedikit membahas model finansial Arsenal agar fans
sepakbola terutama fans Arsenal bisa lebih memahami posisi klub sehingga
bisa menyamakan suara dalam mendukung klub tercinta ini,which is by far the greatest club the world has ever seen.
Model Finansial Klub Sepakbola
Sebelum era Roman Abramovich di Chelsea, klub-klub di Premier League hanya punya satu model finansial, yaitu model Arsenal. Menjadi
membingungkan ketika jurnalis bola di Inggris dan ex pemain EPL secara
kurang cerdas menyimpulkan model finansial Arsenal harus berubah.
Padahal model finansial Arsenal tidak berbeda dengan Manchester United.
Liverpool, Spurs dan hampir semua klub liga Inggris mengadopsi model
yang sama. Model ini adalah menjalankan klub dengan tujuan tidak
bangkrut, bisa exist untuk jangka panjang, dengan cara mendapatkan
profit atau setidaknya break-even setiap
tahunnya dan terus mengembangkan pendapatan. Prestasi di liga menjadi
jaminan agar finansial klub bisa terus berkembang bukan sebaliknya:
menjalankan klub dengan tujuan dapat trofi di liga tapi finansial klub
merah dan klub terancam bangkrut. Model finansial Arsenal mengharuskan klub hidup mandiri artinya
pendapatan klub digunakan untuk pengeluaran klub. Tidak ada sumber
pengeluaran lain selain dari pendapatan dan utang. Utang klub dikelola
dengan baik, setiap tahun cicilan utang harus bisa dibayar. Demikianlah
model finansial Arsenal, MU dan klub-klub bola lainnya yang tidak
berbeda dengan sebuah perusahaan yang sehat.
Yang menjadi anomali adalah Chelsea dan Manchester City karena
kedua klub ini mengadopsi model finansial yang berbeda. Setiap tahun
kedua klub ini merugi, karena membeli pemain dengan harga mahal dan gaji
tinggi demi prestasi. Kerugian klub ditutup dengan uang pribadi
pemiliknya. Kedua klub ini dibiayai oleh milyuner yang tidak sayang
uangnya dibuang setiap tahunnya, demi trofi dan gengsi. Milyuner yang
“dermawan” ini kita sebut Sugar Daddy, sebutan slang untuk
om-om yang memberikan permen gratis ke anak muda dengan imbalan
kepuasan seksual. Analogi Sugar Daddy ini cukup akurat mengingat Roman
Abramovich telah memberikan Chelsea “trofi gratis”, dan imbalannya ia
mendapatkan kenikmatan yang mungkin setara dengan kepuasan seksual. Maka
tak heran kalau Roman gemar masuk kamar ganti pemain Chelsea,
mengintervensi pekerjaan Manajer, dan ikut menentukan pemain mana yang
harus dibelinya. Karena kenikmatan hasil dari prestasi klub disamakan
sebagai kenikmatan personal juga. Chelsea adalah Roman, Roman adalah
Chelsea. Hal yang sama sekarang terjadi di Manchester City walaupun
lingkupnya tidak personal lagi tapi “brand” sekelompok Sheikh kaya raya
dari Arab.
Apakah model
finansial Arsenal harus diubah menjadi model Sugar Daddy yang diadopsi
Chelsea dan Manchester City? Orang yang rasional dan hidup di dunia yang
waras akan bingung dengan usulan demikian. Mengapa harus menukar
keuangan yang sehat dengan keuangan yang terancam bangkrut + beberapa
permen gratis (baca: trofi)? Mengapa harus mencari Sugar Daddy dan
menggantungkan nasib klub kepadanya? Fans mungkin akan tergiur, kalau
tidak dijelaskan secara gamblang ancaman apa yang akan terjadi di masa
depan dengan model finansial Sugar Daddy seperti Chelsea dan City.
Bahaya Sugar Daddy Club
Sugar Daddy
datang menawarkan harapan, menyelamatkan klub dari kebangkrutan dan
memberikan prestasi. Janji itu memang terbukti di awal-awal musim. Roman
membayar seluruh utang Chelsea, mengambil alih klub dengan harga cukup
murah (karena kondisi keuangan klub yang parah), membeli pemain-pemain
mahal dengan gaji tinggi, dan Chelsea menjadi juara. Dalam dua tahun,
sosok Roman menjelma menjadi Godfather,
tokoh yang dipuja seluruh anggota sindikat Chelski. Bagi sebagian orang
ia malah dianggap Messiah, penyelamat klub yang tidak hanya menjanjikan
surga tapi juga membawa seluruh pengikutnya ke surga.
Tentunya Roman
juga punya rencana. Ia bukan dermawan. Ia pengusaha yang tentunya ingin
Chelsea memberikan pemasukan baginya selain menarik uang pribadinya.
Tidak ada Messiah yang mencetak uang asli di dunia ini tanpa henti dan
bisa terus-menerus membiayai klub yang merugi setiap tahunnya. Idealnya
dalam jangka panjang Roman ingin Chelsea semakin laku jual secara
komersil berkat prestasinya di Inggris dan Eropa, dan kemudian menjadi
klub yang menguntungkan. Tapi kenyataan tidak selalu sesuai rencana.
Setelah 9 tahun memiliki Chelsea, keuangan Chelsea selalu merugi setiap
tahunnya walaupun gelar juara liga, FA Cup dan terakhir Champions League
sudah di tangan.
Grafik di atas
menunjukkan kerugian Chelsea per tahun. Tahun 2005 kerugian Chelsea
mencapai hingga £140 juta karena di tahun itu Mourinho membeli
pemain-pemain mahal dalam jumlah banyak demi berkompetisi dengan MU dan
Arsenal. Tahun-tahun berikutnya kerugian lebih sedikit tetapi tetap
signifikan bila dibandingkan dengan klub-klub lainnya. Rata-rata
kerugian £70 juta (setara dengan Rp 1 triliun) setiap tahun tidak bisa
dianggap enteng oleh institusi apapun di dunia. Angka kerugian tersebut
sangat besar jika dibandingkan dengan klub-klub EPL lainnya. Namun
kerugian Chelsea per tahun pada tahun 2010 akhirnya menemukan rivalnya,
Manchester City. Klub Sugar Daddy baru ini mencetak rekor kerugian £121
juta pada tahun 2010 dan £197 juta pada tahun 2011. Total kerugian £318
juta dalam 2 tahun memang akhirnya menghasilkan trofi liga Inggris di
tahun 2012, namun pantaskah harga yang dibayar itu?
Dari grafik di
atas bisa dilihat anomali Manchester City dan Chelsea daripada klub-klub
lainnya. Manchester United mengalami kerugian yang cukup besar di tahun
2010 namun bisa bangkit di tahun 2011 berkat kontrak sponsorship yang
baru. Liverpool dan Tottenham juga mencatat kerugian di laporan
keuangannya walaupun tidak terlalu besar dan hanya Arsenal yang selalu
mencatatkan profit di laporan keuangannya.
Pertanyaan baru
akan muncul: jika Chelsea gagal selama 9 tahun ini membalikkan kondisi
keuangannya dari rugi menjadi untung walaupun sudah mendapatkan beberapa
gelar, akankah Manchester City juga mengalami hal yang sama? Apakah
kebijakan mengeluarkan uang banyak untuk membeli pemain-pemain bagus
yang mahal untuk memenangkan gelar (terbukti berhasil) akan berhasil
membuat klub menjadi sehat finansialnya dalam jangka panjang? Karena
tidak mungkin Sugar Daddy sekaya apapun mau dan mampu menanggung
kerugian klub selama 10, 15 atau 20 tahun berturut-turut. Berapa lama
batas kesabaran Sugar Daddy? Bila setiap tahun mereka menderita kerugian
dan klub tidak pernah bisa keluar dari zona merah finansial, kita bisa
prediksi pada akhirnya Sugar Daddy akan pergi atau berhenti memberikan
permen gratis lagi. Ini asumsi rasional dan sudah terjadi pada Malaga,
yang Sugar Daddy-nya mulai terlihat akan hengkang walaupun klubnya
akhirnya berhasil masuk Liga Champions musim ini. Pemain-pemain bagusnya
dijual dengan harga obral. Salah satunya Santi Cazorla yang dibeli
Arsenal. Pemain yang di dua match awal sudah menunjukkan potensi player
of the year.
Pertanyaan
terakhir mengenai model finansial Sugar Daddy: apakah model ini bisa
berhasil? Model ini berhasil menghantarkan gelar juara ke beberapa klub
yang konsisten mengeluarkan uang banyak. Namun apakah model ini bisa
menghantarkan klub ke jajaran klub elit dunia, yang pendapatannya jauh
di atas klub-klub lainnya. Yang pendapatannya mampu membeli pemain
mahal, bayar hutang dan tetap profit. Mampukah Manchester City menjadi
Manchester United baru? Klub terkaya dunia yang kekuatan komersialnya
demikian besar hingga mampu membiayai take-over Glazers dengan
sendirinya. Dengan
kata lain Glazers tak perlu mengeluarkan uang sedikitpun dari kantong
pribadinya untuk memiliki MU karena keuntungan dari operasional MU cukup
untuk membayar utang akuisisinya, paling tidak sampai saat ini (akan
dijelaskan di artikel terpisah).
Bila model ini
tidak berhasil dalam jangka panjang, maka klub-klub Sugar Daddy berada
di ambang kehancuran. Sesaat setelah Sugar Daddy memutuskan untuk
meninggalkan klub, tahun itu juga Sugar Daddy Club terancam masuk
administarsi (baca: bangkrut). Karena tidak ada lagi yang mau
menanggung tingkat kerugian yang tidak wajar setiap tahunnya itu. Nasib
sebuah klub sepakbola digantungkan pada Sugar Daddy-nya. Seorang Messiah yang juga seorang Pencabut Nyawa. Surga atau neraka sebuah klub tergantung pada satu orang. Tragis ya?
We’re a Selling Club?
Kembali ke Arsenal. Bila model Sugar Daddy Club masa depannya terlihat suram, lalu apakah masa depan model finansial self-reliance seperti
Arsenal ini cerah? Faktanya Arsenal terus menjual pemain terbaiknya
setiap tahun. Tahun lalu Nasri dan Fabregas, tahun ini RVP dan Song.
Apakah Arsenal ditakdirkan menjadi selling club, feeder club bagi Sugar
Daddy Club? Kehilangan pemain terbaiknya setiap tahun, bagaimana mungkin
bisa bersaing dengan klub-klub yang jor-joran membeli pemain?
Kegelisahan-kegelisahan seperti ini memenuhi kepala fans Arsenal dan
menjadi bahan cibiran fans klub lain.
Faktanya
Arsenal memang sulit bersaing secara finansial dengan Sugar Daddy Club
(Chelsea, Man City) dan Established Club (Man United) atau Government
Club (Barcelona dan Real Madrid). Established Club seperti MU
ini maksudnya klub yang sudah mapan secara komersial. Memiliki jaringan
sponsorship yang kuat di seluruh dunia dan jaringan fans yang mendunia.
Government Club seperti Barcelona dan Real Madrid adalah klub-klub yang
sering ditolong pemerintah setempat, dimudahkan untuk meminjam uang di
bank-bank setempat. Maka tidak heran Barcelona dan Real Madrid yang
pendapatan dari broadcasting TV-nya lebih besar dari 18 klub La Liga
lainnya digabungkan tetap memiliki hutang ke bank hampir setengah milyar
euro. Government Club ini klub yang tidak mungkin bangkrut, too big to fail kata orang keuangan. Kalau Real Madrid punya Raja Spanyol yang akan selalu mem-bailout klub ini, Barcelona adalah simbol kebanggaan seluruh rakyat Catalunya yang tidak mungkin dibiarkan bangkrut rakyatnya.
Sugar Daddy Club, Established Club dan Government Club adalah lawan-lawan Arsenal.
Kalau ibarat pertandingan tinju, mereka kelas berat, kita kelas
menengah. Bagaimana mungkin seorang Pacquiao bisa mengalahkan Klitschko?
Di sepakbola tidak ada yang tidak mungkin. Montpellier, klub gurem itu
baru saja memenangkan liga Perancis musim lalu, mengalahkan Sugar Daddy
Club PSG. Dan striker no.1 nya saat ini bersama Arsenal, Oliver Giroud.
Arsenal bisa mengalahkan klub-klub kelas berat tersebut, hanya dengan
The Arsenal Way.
Bagian dari The Arsenal Way adalah manifesto ini: We’re not a selling club. We’re a trading club. We buy cheap and sell high. Untuk penjelasan lebih lanjut, silakan baca artikel di blog ini: Poznan in My Pants. Artikel tersebut menjelaskan dengan sangat detail mengapa Arsenal bukan a selling club.
Posisi Arsenal
Menjadi trading
club adalah niscaya, untuk bisa berkompetisi dengan tiga kelompok klub
kelas berat tersebut. Untuk saat ini sumber dana Arsenal tidak cukup
untuk menaikkan Arsenal ke level yang sejajar dengan klub kelas berat
namun hal ini tidak akan berlangsung selamanya. Grafik berikut
menjelaskan mengapa.
Arsenal di
tahun 2005 adalah klub yang pendapatannya lebih kecil daripada Liverpool
dan Chelsea sebelum era Roman. Tahun 2011 Arsenal dan MU pendapatannya
naik hampir 100% sedangkan Chelsea yang didukung Sugar Daddy hanya naik
51%, hampir sama dengan Liverpool. Manchester City dan Tottenham juga
naik drastis dari segi persentase pendapatan namun secara nominal masih
jauh dari level pendapatan MU, Arsenal, Chelsea.
Satu-satunya
sumber peningkatan drastis pendapatan Arsenal adalah pindahnya klub ke
stadion Ashburton Grove dari Highbury. Arsenal era Highbury berhasil
mendapatkan beberapa gelar dan mampu bersaing dengan MU, namun di Eropa
tertinggal jauh. Dengan stadion berkapasitas 35.000 orang, pendapatan
dari tiket sangat kecil dibandingkan dengan MU yang stadionnya
berkapasitas 75.000. Pindah ke Ashburton Grove menaikkan pendapatan
tiket Arsenal menjadi yang tertinggi di Inggris, mampu bersaing dengan
MU. Namun mengapa masih ada selisih £100 juta di pendapatan final? Dua
grafik berikut ini menjelaskannya.
Grafik pertama
menunjukkan bahwa pendapatan komersial Arsenal jauh tertinggal dari
klub-klub besar Eropa. Pendapatan komersial Arsenal hanya sekitar 40
juta lebih, sedangkan MU 100 juta lebih dan yang terhebat Bayern
Muenchen, Real Madrid dan Barcelona yang sekitar 150 juta lebih. Jadi
pendapatan komersial Arsenal hanya sekitar 40% MU dan 25% dari klub
dengan pendapatan komersial tertinggi. Pahit memang, tapi ini juga
menjadi alasan kita dapat berharap pada masa depan yang cerah.
Pandangan half-full glass akan
berasumsi Arsenal masih punya potensi untuk meningkatkan pendapatan
komersialnya sebesar 100 juta. Dengan kondisi pendapatan seperti
sekarang saja Arsenal sudah bisa profit setiap tahunnya, bayangkan jika
ditambah pendapatan 100 juta per tahun dari komersial. Angka yang
fantastis dan menjadi PR besar tim Ivan Gazidis untuk mencapainya.
Grafik kedua
menunjukkan pendapatan khusus dari sponsorship kaos tim. Lagi-lagi
Arsenal tertinggal. Hanya sekitar 13 juta per tahun, sedangkan MU 45
juta per tahun (sebelum deal dengan Chevrolet yang gila itu) dan yang
tertinggi Barcelona dengan 52 juta pertahun. Dengan sudut pandang half-full glass kita bisa kembali optimis ada potensi menaikkan pendapatan dari sponsorship kaos sebesar 30 juta per tahun.
Pertanyaannya
mengapa Arsenal demikian jauh tertinggal dari segi pendapatan komersial?
Hal ini disebabkan karena stadion baru. Untuk membangun stadion baru
yang menelan biaya sekitar £500 juta, Arsenal butuh sumber dana yang
besar. Salah satunya lewat kontrak dengan Emirates senilai £100 juta
bayar di muka untuk hak penamaan stadion selama 15 tahun (maka Ashburton
Grove menjadi The Emirates) dan hak merk “Flying Emirates” di kaos tim
selama 10 tahun. Angka ini fantastis pada waktu itu, dan dengan
pembayaran kontan di muka sangat membantu pembangunan stadion. Namun
angka itu menjadi biasa saja jika dibandingkan dengan sponsorship kaos
tim MU yang 45 juta per tahun sedangkan Arsenal hanya 100 juta per 10
tahun (termasuk stadion naming right) yang juga telah dihabiskan untuk
membangun stadion.
Kontrak
sponsorship kaos tim ini akan selesai di tahun 2014. Dan Arsenal sangat
mungkin mendapatkan deal yang sebagus MU untuk kontrak ke depan.
Tambahan sekitar 30-40 juta per tahun dari sponsorship kaos tim sudah di
depan mata 2 tahun lagi. Namun untuk saat ini kita hanya bisa gigit
jari dengan sabar menunggu masa kontrak habis.
Pendapatan
komersial Arsenal juga mulai digenjot tim Marketing dengan mengadakan
Tour Asia sejak 2 tahun lalu. Wenger yang biasanya memilih pre-season di
training camp yang sepi dan terisolir terpaksa berkompromi demi
pendapatan komersial yang dapat digunakan untuk memperkuat tim. Nilai
positif dari Tour Asia ini adalah ditandatanganinya sejumlah sponsorship
baru dengan produk regional. Mari kita tunggu laporan keuangan tahun
2012 ini, seberapa besar peningkatannya.
Dari paparan di atas sudah jelas Arsenal untuk saat ini tidak sejajar dengan Tiga Kelompok Klub Kelas Berat (Sugar
Daddy Club, Established Club, Government Club). Namun hal ini tidak
berarti kita akan selamanya begitu. Tahun 2014 akan memulai babak baru
dari naik kelasnya Arsenal. Mungkin dari kelas menengah ke kelas ringan
dahulu, sebelum secara perlahan naik ke kelas berat, dari segi
pendapatan klub.
Maka jangan
heran kalau Arsenal tidak akan sanggup membayar Van
Persie £250.000/minggu sebagaimana yang dibayar MU. Arsenal menawarkan
kontrak baru ke Van Persie senilai £150.000/minggu yang sudah merupakan
sebuah rekor untuk klub namun ditolak Van Persie yang ingin hidup nyaman
kaya raya untuk 4 tahun ke depan. Van Persie memilih membuang status
legenda Arsenal demi hidup nyaman di Manchester, musuh abadi Arsenal.
Kita persilakan kalau ia lebih memilih uang daripada cinta. Silakan
bergabung dengan Shrek and friends jika
Van Persie menolak berasosiasi dengan pemain-pemain ganteng dan cerdas
seperti Arteta, Ramsey dan Wilshere dan terima kasih atas cek senilai
£24 juta hasil transfermu, pemain yang kami beli dengan harga murah,
hanya £2,5 juta saja.
Song meminta
naik gaji padahal sisa kontraknya dengan Arsenal masih 3 tahun. Song
mengatakan ia cinta dengan Arsenal, dan ingin tinggal di Arsenal tapi
ngotot minta naik gaji. Arsenal mengatakan padanya pembicaraan kontrak
baru akan dilakukan setelah 1 September, karena sedang konsentrasi
transfer pemain baru. Agen Song diam-diam melakukan deal dengan Barca
dan meng-ultimatum Arsenal karena tahu setelah 1 September kesempatan
untuk pindah bagi Song bisa lenyap. Song ngambek, malas-malasan di
latihan dan selalu datang telat. Bahkan di pre-season di Cologne
membangkang hingga Steve Bould, asisten Manager Arsenal sampai harus
berbenturan fisik dengannya. Demi kenaikan £15.000/minggu Song akhirnya
memilih membuang “cinta”-nya. Arsenal mempersilakan ia pergi. Klub lain
mungkin akan tunduk pada kemauan pemain dan memberikan apa yang mereka
minta, The Arsenal Way adalah klub tidak bisa didikte oleh pemain, jika tidak cocok dengan apresiasi klub, pintu keluar terbuka lebar-lebar.
The Arsenal Way
The Arsenal Way
adalah bersikap cerdik di tengah kompetisi yang ketat ini sambil
menunggu peluang emas di 2014. Memanfaatkan kekuatan yang lain daripada head-to-head spending competition dengan
klub-klub kaya. Untuk melawan klub-klub dengan sumber daya finansial
yang jauh lebih besar, Arsenal harus memanfaatkan scouting networknya.
Arsenal akan selalu menemukan pemain murah, baik yang muda maupun yang
berpengalaman. Permata yang bagus namun belum dipoles menjadi bintang.
Laurent Koscielny salah satu contohnya. Pemain yang bisa menjadi center
back terbaik musim ini luput dari pengamatan klub-klub besar. Oliver
Giroud contoh lainnya. Top skorer ini dibeli murah karena eksploitasi buy out clause di
kontraknya, dan Wenger berhasil meyakinkannya untuk tidak bergabung
dengan Chelsea. Santi Cazorla, bagaimana mungkin MU lupa dengan pemain
ini sedangkan mereka sangat butuh pengganti Scholes?
Apa saja kekuatan Arsenal yang berbeda dengan kompetitornya? Mari kita bahas.
Musim lalu
Arsenal hampir mendapatkan Juan Mata sebelum Chelsea men-sabotase dengan
tawaran lebih besar. Minggu lalu Nuri Sahin, sebelum Liverpool berani
bayar gila untuk sebuah transfer pinjaman tanpa hak beli di akhir musim.
Arsenal juga sudah mengikuti Eden Hazard sejak dulu. Samir Nasri
didatangkan dengan harga murah. Podolski dan Cazorla adalah hasil
pengamatan bertahun-tahun lampau. Untuk setiap Juan Mata dan Sahin yang
lepas, selalu ada Koscielny dan Cazorla yang didapatkan. Kekuatan Arsenal ada pada scouting network-nya, pada jaringan mata-mata yang dibentuk Wenger sejak pertama kali menginjak London.
Kekuatan Arsenal kedua ada pada akademinya.
Jack Wilshere dan Kieran Gibbs adalah produk akademi Arsenal. Arsenal
juga berhasil menciduk bakat muda Barcelona penerus Fabregas seperti Jon
Toral dan Hector Bellerin. Nama-nama seperti Zak Ansah, Chuba Akpom,
Serge Gnarby akan mengisi Premier League 3-4 tahun lagi. Semalam mereka
mengalahkan Marseille 3-0 di
NextGenSeries, Champions League untuk U-19. Arsenal di era Wenger
selalu terkenal sebagai pencetak bintang baru dan tidak ada alasan hal
itu akan berhenti. Yang lebih menjanjikan adalah bintang-bintang baru
ini sekarang juga berkebangsaan Inggris. Paling tidak mereka tidak
memiliki DNA Barca, jadi kemungkinan pindah ke Barcelona di masa depan
lebih kecil. Untuk pindah ke MU, Chelsea atau City juga bisa diblokir
dengan kemampuan finansial kita yang baru di tahun 2014.
Kekuatan Arsenal ketiga ada pada Arsene Wenger.
Tujuh tahun tanpa trofi, namun orang-orang melupakan bahwa Arsenal
pernah dibawa Wenger tak terkalahkan dalam satu musim. Invincible Record
ini tidak terpecahkan sampai sekarang dan mungkin akan sangat sulit
disamakan di masa depan. Wenger mempunyai kemampuan memoles pemain biasa
menjadi pemain bagus, pemain bagus menjadi pemain kelas internasional,
pemain kelas internasional menjadi pemain kelas dunia. Dan pemain-pemain
Arsenal ini walaupun tujuh tahun tanpa trofi pernah begitu dekat dengan
trofi. Hal ini yang dilupakan orang-orang. Final Liga Champions tahun
2006, memimpin puncak klasemen hingga bulan Maret di tahun 2008, dan
bulan Februari di tahun 2011 sebelum akhirnya terjun bebas akibat cedera
pemain di saat-saat penting. Arsenal pernah begitu dekat, namun gagal
finish. Di lapangan hijau musim lalu Arsenal mampu mengalahkan
Manchester City dan Chelsea, dua klub Sugar Daddy. Kekuatan finansial
memang menentukan kekuatan skuad, namun pertandingan di lapangan hijau
tetap 11 lawan 11. Asalkan tidak cedera bersamaan dan punya kekuatan
pelapis yang cukup, Arsenal mampu mengimbangi tim manapun di lapangan
hijau.
The Arsenal Way adalah soal hidup di atas kaki sendiri. Tidak bergantung pada Sugar Daddy, pada Pemerintah. We spend what we have.
Pengeluaran selalu harus lebih kecil daripada pendapatan. Bukankah itu
yang diajarkan orang tua kita dulu? Membesarkan anakmu sebagai seorang
Gooner amat mudah, cukup ajarkan The Arsenal Way. Coba bayangkan
sulitnya orang tua fans Chelsea membesarkan anaknya. Bagaimana ia bisa
meyakinkan anaknya untuk hidup berhemat dan tidak boros sembari
mengajarkannya The Chelsea Way: tidak apa-apa boros asalkan berprestasi.
Fans-fans klub Sugar Daddy tidak hidup dalam realita dunia.
Mereka bangga ketika klubnya membayar mahal untuk pemain. Uang
sejumlah £35 juta untuk Eden Hazard. Edan. Lebih gila lagi £25 juta
untuk Oscar, pemain muda yang belum pernah main di Eropa. Semakin tinggi
harga pemain yang harus dibayar, semakin bangga mereka. Sementara fans
Arsenal yang pelan-pelan sudah terbiasa dengan The Arsenal Way bagaikan orgasme mendengarkan nilai transfer Santi Cazorla yang hanya sekitar £12-14 juta. Kita
sudah terbiasa hidup hemat, dan bisa berhemat dalam belanja pemain itu
sebuah kenikmatan. Seperti ibu-ibu yang berhasil menawar barang sesuai
harga yang diinginkannya. Tapi itulah realita dunia.
Jadi jangan
salahkan Arsenal yang gemar berhemat. Itu seperti Anda menyalahkan
seorang pemuda dari keluarga sederhana yang belajar giat di kampus demi
masa depannya. Sementara ada seorang pemuda malas dari keluarga kaya
datang ke kampus tiap hari dengan Ferrari. Tentu ia menarik gadis-gadis
yang cantik. Ia menjadi pujaan wanita. Namun tidak ada yang salah dengan
pemuda sederhana itu. He lives by his own means.
Dia hidup sesuai apa yang ia punya, dan lewat bekerja keras, suatu saat
ia akan lebih baik daripada pemuda kaya (harta bapaknya) yang manja
itu.
Perempuan yang
cerdas akan memilih pemuda yang punya potensi di masa depan. Pemuda yang
bisa sukses dan kaya dengan upayanya sendiri. Ia tidak akan memilih
pemuda manja yang kaya dengan harta warisan bapaknya itu, sesuatu yang
tidak bisa ia hasilkan sendiri. Seluruh pendapatan Arsenal dihasilkan
sendiri, lewat upaya manajemen klub yang cerdik. Bukan uang hibah dari
Sugar Daddy. Berprestasi dengan upaya dan modal sendiri, apa lagi yang
mesti kita keluhkan?
Dengan memahami
model finansial Arsenal di atas, yang merupakan model finansial
rasional satu-satunya dan akan menjadi model seluruh klub sepakbola di
Eropa setelah Fair Financial Play diterapkan UEFA, maka fans Arsenal
patut berbangga. Walaupun minim trofi selama 7 tahun terakhir ini,
Arsenal menjadi contoh bagaimana menjalankan klub secara benar dan
bermasa depan cerah. Trofi hanyalah penanda sebuah prestasi, namun
prestasi tidak melulu diwakili hanya oleh trofi. Selama 15 tahun
berturut-turut Arsenal selalu masuk kompetisi Liga Champions, rekor yang
hanya bisa disamakan Real Madrid, itu juga sebuah prestasi.
Dari dulu
Arsenal adalah klub inovasi. Dari era Herbert Chapman hingga Arsene
Wenger Arsenal selalu terdepan. Kita tidak perlu mengikuti jalan Sugar
Daddy Club, tidak ada yang patut dibanggakan dengan trofi hasil membuang
uang tak terbatas. Cara yang tidak inovatif. Apapun pencapaian klub
tercinta kita musim ini, mari kita samakan suara dalam mendukung
Arsenal:
Victoria Concordia Crescit.
Victory comes from harmony.
Suatu saat nanti, kita yakin Arsenal akan mendapatkan apa yang pantas didapatkan. We’re by far the greatest club the world has ever seen.
“I really like Arsenal. But you, yes, you. Do you really like Arsenal? Or just Arsenal with trophies?”- Dennis Bergkamp