Andai Densus 88 Bisa Dipinjam untuk Tangani Tersangka Koruptor
Tewasnya 7 tersangka teroris saya baca dan saya dengar tatkala masih bertugas di New Delhi, India.
Saya mengikuti terus perkembangan Tanah Air, termasuk aksi Detasemen
Khusus 88 Antiteror Polri atau yang beken disebut Densus 88 yang
menewaskan 7 tersangka teroris.
Dari sisi Polri, menghabisi
orang yang baru tersangka teroris –masih tersangka loh– tentu saja suatu
keberhasilan. Logika yang sering mengemuka adalah “antisipasi”, yaitu
daripada teroris bertindak terlebih dahulu, lebih baik dihabisi saja
agar tidak membahayakan orang lain.
Akan tetapi bila dilihat
dari kacamata hukum dan hak asasi manusia (HAM) dan kebetulan saya
melihatnya dari kacamata ini, rasanya kok ada ganjalan ya… Pertanyaannya
sederhana; benarkah orang yang masih dijadikan tersangka bisa langsung
dibunuh atau dihabisi nyawanya tanpa diberi kesempatan membela diri di
pengadilan? Apakah Densus 88 tidak perlu lembaga peradilan (hukum) untuk
memproses orang yang masih terduga atau tersangka ini?
Barangkali, perlu juga diluruskan cara kerja Densus 88 yang namanya
sudah terkenal ke senatero dunia ini karena “keberhasilan” demi
“keberhasilan” menghabisi tersangka teroris. Apakah sudah dibenarkan
undang-undang membunuh orang yang masih dalam status terduga atau
tersangka?
Mungkin tulisan ini tidak akan muncul kalau yang
diburu itu adalah orang yang secara sah dan meyakinkan menjadi otak atau
gembong teroris sebagaimana yang dilakukan terhadap Noordin M Top atau
Dr Azhari. Saya pribadi akan menganggap itu sebagai prestasi. Tetapi
ketika berhasil membunuh 7 tersangka teroris, saya harus menunda kata
“prestasi” itu. Ini soal nyawa orang yang baru dijadikan tersangka atau
terduga, bukan karena sah secara hukum telah melakukan perbuatan teror.
Tentu saja dengan tulisan ini tidak berarti saya mendukung terorisme
atau simpati terhadap pelaku teror. Tidak. Saya hanya mempertanyakan
saja apakah prosedur yang dilakukan Densus 88 dalam menghabisi nyawa 7
tersangka itu sudah sesuai undang-undang atau Densus 88 tidak perlu
payung hukum untuk menghabisi siapa saja yang mereka anggap terduga atau
tersangka teroris?
Selintas saya membandingkannya dengan
tersangka koruptor, yakni para pejabat dan para politisi yang diduga
atau disangka menyalahgunakan wewenangnya sehingga merugikan duit
negara, atau politisi pelaku pencucian uang hasil kejahatan (korupsi),
rasanya beda sekali perlakuannya. Bahkan jelas-jelas sudah tertangkap
basah melakukan suap atau menerima suap pun sampai digiring ke tahanan,
proses hukum dijunjung. Ketika persidangan berjalan dan si terdakwa
divonis penjara, proses hukum tetap dihormati. Sebab, memang ada lembaga
pengadil (atas kuasa negara) yang diberi tugas untuk menimbang
salah-benar tindakan terdakwa. Bukankah proses ini yang benar?
Apakah tugas dan wewenang Densus 88 memang bisa “diperluas” menjadi
semacam “peradilan berjalan” dengan membawa vonis mati (senjata api) di
tangan selain menangkap tersangka teroris? Atau, vonis mati itu bisa
langsung dijalankan saat operasi dilancarkan?
Kalau demikian, bisakah cara kerja Densus 88 ini dipinjam untuk memberantas para koruptor?
Rasanya KPK juga terlalu lembek dan terlalu sopan, hanya mau menyita
properti (kendaraan) milik tersangka koruptor saja sampai harus mundur
karena menerima perlawanan kader atau security partai tertentu dengan
alasan tidak membawa surat penyitaan. Kalau ya tidak membawa surat
penyitaan sesuai prosedur, artinya KPK juga lalai karena tidak memenuhi
ketentuan yang sebagaimana seharusnya seperti yang digugat para petinggi
partai tersebut.
Tapi, bukan ini yang saya persoalkan. Lebih
karena beda perlakuan saja antara Densus 88 menangani tersangka teroris
dengan penyidik KPK yang menangani penyitaan properti milik tersangka
koruptor. Sekali-kali mbok ya…. gantian tugas dan wewenang begitu biar
terasa adil kendati undang-undang tidak memungkinkannya; penyidik KPK
menangani tersangka teroris, sementara Densus 88 menangani tersangka
koruptor.
Tebak-tebak buah manggis, apakah kira-kira ada darah
tersangka koruptor yang tertumpah kena berondong timah panas Antiteror
sebagaimana darah tersangka teroris yang muncrat di mana-mana?
Mungkin ada yang mengira, barangkali saya sudah uedan menukar tugas dan
wewenang Densus 88 dengan KPK yang tidak diatur undang-undang manapun.
Boleh saja, tetapi ‘kan sama uedan-nya dengan cara Densus 88 menghabisi
orang yang baru tersangka atau terduga tanpa memprosesnya terlebih
dahulu di pengadilan? Kecuali kalau cara-cara itu memang dianggap sesuai
hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia. Ya, monggo…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar