BILA
ada seseorang atau sekelompok orang mengaku-ngaku sebagai keturunan
Nabi, sebenarnya kalau secara umum sah-sah saja dan tidak salah sama
sekali. Karena, pada dasarnya semua umat manusia di muka bumi ini
merupakan keturunan Nabi Adam Alaihissalam, Nabi pertama. Namun, tidak
semua keturunan Nabi Adam Alaihissalam beriman kepada Allah SWT dan
mengakui Muhammad sebagai Rasul Allah. Artinya, secara umum, tidak ada
yang ‘istimewa’ dengan status keturunan Nabi. Apalagi, yang sesungguhnya
dinilai oleh Allah SWT bukanlah asal-usul keturunan seseorang tetapi
tingkat ketaqwaannya kepada Allah.
George
Bush mantan Presiden Amerika Serikat juga keturunan Nabi Adam
Alaihissalam, begitu juga dengan Osama bin Laden dari Saudi Arabia dan
Ariel Sharon dari Israel. Semua nabi yang jumlahnya ribuan, juga
keturunan Nabi Adam Alaihissalam, begitu juga dengan para Rasul Allah.
Sementara itu, tidak ada satu pun keturunan Nabi Muhamad SAW yang
menjadi Nabi atau Rasul, kecuali kalau ada yang mengaku-ngaku, maka bisa
jadi nabi dan rasul palsu pembawa kesesatan.
Dalam
perspektif antropologis, ada fenomena ‘penghormatan’ terhadap keturunan
Nabi Muhammad SAW yang muncul dari sebuah penafsiran atau penyikapan
terhadap sebuah hadits (?) yang berbunyi: “Sesungguhnya keturunanku itu
dari Fatimah.”
Maka,
tersusunlah sebuah silsilah yang menjuntai hingga belasan abad kemudian
dari Hadramaut (Yaman) hingga ke Tanah Abang (Jakarta). Yaitu sebuah
silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Fathimah ra
yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib ra.
Maka,
muncullah sebuah penyebutan khusus bagi keturunan Fathimah ra ini,
yaitu Habib (yang tercinta), Sayid (tuan), Syarif (yang mulia), dan
sebagainya. Di Jakarta, sebutan yang paling populer untuk ‘menghormati’
para keturunan Nabi Muhammad dari jalur Fathimah ra ini adalah habib
atau habaib (jamak).
Tidak
semua keturunan Arab bisa disebut habib. Misalnya, Abu Bakar Ba’asyir
mantan Amir Mujahidin MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) yang kini
memimpin Jama’ah Ansharut Tauhid meski merupakan keturunan Arab dari
Yaman, bukanlah tergolong habib, dan tidak pernah mau dipanggil habib
atau diperlakukan sebagai habib. Ba’asyir memang bukan keturunan
Fathimah ra, maka tidak disebut habib, berbeda dengan Riziek Shihab
Ketua FPI (Front Pembela Islam).
Dari sejumlah komunitas keturunan Fathimah ra ini, mereka terkelompokkan ke dalam sejumlah fam (nama keluarga) seperti Syihab, Shahab, Assegaf, dan sebagainya. Dari sejumlah fam
komunitas keturunan Fathimah ra ini, salah satu yang menonjol adalah
Assegaf. Bahkan tiga sosok yang cukup menghebohkan ‘dunia persilatan’ di
Indonesia, menyandang nama Assegaf. Siapa saja mereka?
Mahmud bin Ahmad Assegaf
Nama
yang menghebohkan ini pasti tidak begitu mudah dikenali bila tidak
disebut nama aslinya. Nama Mahmud bin Ahmad Assegaf adalah nama alias
dari sosok bernama Omar Al-Farouq, kelahiran Kuwait 24 Mei 1971.
Menurut catatan majalah Tempo
edisi 25 November – 1 Desember 2002, Al-Farouq merupakan tokoh kunci
Al-Qaidah di Asia Tenggara yang berperan membekingi dana gerakan Jamaah
Islamiyah (JI), dan merupakan tangan kanan Osama bin Laden yang oleh
Geroge Bush disebut teroris. Al-Farouq juga diduga terlibat pada
sejumlah aksi peledakan gereja di Indonesia pada malam Natal 2000,
kerusuhan di Poso dan Ambon.
Di
Indonesia, Al-Farouq punya beberapa buah KTP. Bahkan ia sempat menikahi
Mira Agustina pada 26 Juli 1999, dan punya dua orang anak. Menurut
Mira, suaminya itu meski sering dipanggil Abu Faruq, namun bernama asli
Mahmud bin Ahmad Assegaf, keturunan Arab yang lahir di Ambon pada
tanggal 24 Mei 1971 dan fasih berbahasa Indonesia dengan logat Ambon.
Begitu pengakuan Mira.
Pada
tanggal 5 Juni 2002, Al-Farouq ditangkap aparat di Masjid Raya Bogor,
dan langsung dideportasi ke Amerika Serikat, karena diidentifikasi
sebagai warga negara asing yang menjadikan Indonesia sebagai arena
menebar teror. Dari Bogor, Al Farouq langsung dibawa ke Halim Perdana
Kusumah. Di Halim, sudah menunggu pesawat militer AS yang membawa
Al-Farouq ke tempat tujuan selanjutnya (penjara AS di Baghram,
Afghanistan). Hal itu dimungkinkan karena adanya kerja sama antara
intelijen Indonesia dan Amerika dalam perang melawan teror.
Beberapa
bulan kemudian, September 2002, muncul wawancara antara majalah Time
dengan Al-Farouq. Antara lain berisi pengakuan Al-Farouq bahwa ia
merupakan wakil senior Al-Qaida di Asia Tenggara dengan tugas
merencanakan sejumlah serangan terhadap kepentingan AS di Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam dan Kamboja.
Menurut
Manullang (mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Nasional),
Al-Farouq adalah agen binaan badan intelejen Amerika Serikat (CIA), yang
ditugaskan menyusup dan merekrut agen lokal melalui kelompok-kelompok
Islam radikal. Karena tugasnya sudah selesai, dibuat skenario
tertangkap. Hal tersebut dikatakan Manullang kepada Tempo News Room pada hari Kamis sore (19 Sep 2002).
Pada
12 Juli 2005, Al Farouq dikabarkan berhasil kabur dari penjara Baghram
yang super ketat itu. Namun kasusnya baru terpublikasikan pada November
2005. Hampir satu tahun kemudian, pada hari Senin tanggal 25 September
2006, Al-Farouq dikabarkan tewas akibat ditembak tentara Inggris di
Irak. Menurut Mayor Charlie Burbridge juru bicara militer Inggris,
Al-Farouq ditembak mati setelah terlibat baku tembak dengan 250 tentara
Inggris di sebuah rumah tempat dia bersembunyi di Kota Basra, Irak.
(http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=156466)
Habib Abdurrahman Assegaf
Nama
Habib Abdurahman Assegaf menjulang ketika terjadi pengerahan sejumlah
massa ke markas Ahmadiyah di Parung pada hari Jum’at tanggal 15 Juli
2005, sekitar pukul 16:00 wib. Begitu juga ketika mencuat kasus aliran
sesat Al-Qiyadah Al-Islamiyah, sosok Habib Abdurrahman Assegaf kembali
menonjol dalam rangkaian aksi menghancurkan dan membakar gubuk tempat
pertapaan Ahmad Mushaddeq (pemimpin Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang mengaku
sebagai nabi) yang berlokasi di lereng kaki Gunung Salak Endah, Desa
Gunung Bunder, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Selasa 30 Oktober
2007. Habib Abdurrahman Assegaf pada saat itu merupakan pemimpin atau
koordinator GUII (Gerakan Umat Islam Indonesia). Sebelumnya, Al-Qiyadah
Al-Islamiyah telah dinyatakan sesat oleh MUI pada 4 Oktober 2007.
Menurut
Arrahmah.com, Abdurrahman Assegaf adalah seorang habib palsu yang
bernama (asli) Abdul Haris Umarella bin Ismail Umarella. Namun ada juga
yang mengatakan nama aslinya adalah Amsari Umarella. Ayahnya asal
Makassar dan ibunya berasal dari Ambon.
Amsari
alias Abdul Haris yang kini menjelma menjadi Habib Abdurrahman Asegaf,
pernah menempuh pendidikan di SMP Negeri 2 yang terletak di jalan
Mardani Raya, Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Setelah lulus dari SMPN
2, Amsari melanjutkan ke SMA Negeri 68 jurusan IPS. Selama bersekolah di
SMAN 68, Amsari tidak tertarik bergiat di rohis (rohani Islam, sebuah
lembaga ekstra yang bergerak di bidang pembinaan rohani atau keagamaan).
Bahkan saat itu ia termasuk yang tidak mendukung jilbab. Setelah lulus
dari SMAN 68, Amsari melanjutkan pendidikan di Unkris Pondok Gede,
Jakarta. (http://www.arrahmah.com/index.php/news/read/5459/iapa-habib-palsu-abdurrahman-assegaf)
Nur Hidayat Assegaf
Februari
1989, terjadi peristiwa berdarah-darah di Lampung, yang dikenal dengan
nama Kasus Talangsari. Sebuah komunitas pengajian pimpinan Warsidi yang
merupakan serpihan Darul Islam (NII), disapu bersih aparat, karena telah
dengan terang-terangan mempersiapkan sebuah perlawanan terhadap
pemerintahan, dan membunuh Kapten Soetiman (yang waktu itu menjabat
sebagai Danramil Way Jepara).
Salah
satu tokoh pencetus kasus Talangsari ini adalah Nur Hidayat, mantan
Karateka Nasional yang pernah menjadi bagian dari kelompok pengajian
usroh Abdullah Sungkar. Sosok Abdullah Sungkar adalah salah satu tokoh
DI/TII atau NII yang kemudian melepaskan diri dari NII dan membentuk
Al-Jama’ah Al-Islamiyah (JI).
Dalam
kasus Talangsari (Lampung, 1989), Nur Hidayat merupakan tokoh penting.
Antara lain, ia menjadi Amir Musafir dan penentu bagi orang-orang yang
akan ‘hijrah’ ke Talangsari. Bahkan setelah kasus Talangsari pecah, Nur
Hidayat merencanakan sejumlah aksi teror lanjutan, sebagai perlawanan
atau balasan terhadap penyerbuan aparat ke Talangsari. Yaitu,
mengacaukan Jakarta dengan jalan membakar sejumlah pom bensin, membakar
Pasar Pagi, Glodok dan Tanjung Priok. Hanya saja, rencana itu berhasil
digagalkan aparat.
Beberapa tahun belakangan, Nur Hidayat melengkapi namanya dengan membubuhi nama fam Assegaf, dan berprofesi sebagai rohaniwan (ustadz, penceramah agama). Hal ini setidaknya bisa dilihat pada harian Republika edisi 30 Januari 2001 dalam serial tulisan bertajuk Melacak Bom di Malam Natal. Pada tulisan serial itu, Republika menuliskan
nama Nur Hidayat dengan tambahan Assegaf. Padahal, menurut mantan
isteri pertamanya, Nur Hidayat bukan keturunan Arab, apalagi bermarga
Assegaf yang tergolong ahlul bait atau keturunan Nabi Muhammad SAW dari
jalur Fathimah ra.
Berkenaan
dengan Bom Malam Natal yang terjadi 24 Desember 2000, Nur Hidayat
memang pernah berkoar-koar bahwa ia tahu siapa pelaku di balik kasus
yang menghebohkan itu. Ketika diwawancarai oleh Rakyat Merdeka
pada tanggal 29 Januari 2001, Nur Hidayat menyatakan bahwa ia tahu akan
terjadinya peledakan Bom Malam Natal 2000 dari seorang kawannya asal
Bandung, bahkan sang kawan itu berusaha mengajaknya terlibat, namun Nur
Hidayat menolak. Meski sudah secara terbuka mengatakan hal itu, namun
Nur Hidayat tidak ikut diciduk aparat dalam kasus Bom Malam Natal 2000.
Dari data-data di atas, nampaknya fam Assegaf dibanding fam
ahlul bait lainya, sering ‘dimanfaatkan’ oleh orang-orang yang mengerti
adanya benefit di balik penggunaan nama keluarga keturunan Fathimah ra
tersebut. (haji/tede)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar