Sekilas
Anatomi Buku
Buku yang ditulis dalam bentuk surat
terbuka ini bercerita tentang pergolakan pemikiran yang dialami Irshad Manji,
seorang feminis Muslim keturunan India yang –berdasarkan pengakuannya- juga
seorang lesbian. Berbagai pengalaman keagamaan yang dialaminya sejak kecil,
khususnya menyangkut hubungannya yang tidak menyenangkan dengan Islam, berikut
praktek-praktek Islam dalam kehidupan sosial yang dilihatnya kontradiktif
antara idealita dan realita, telah memunculkan berbagai pertanyaan mendasar
mengenai Islam, yang sayang –menurutnya-- tidak mampu dijawab oleh Islam itu
sendiri.
Pergolakan pemikiran ini terjadi
sedemikian hebat hingga pada titik dimana dia hampir menanggalkan
kemuslimannya. Banyak hal filsafatis yang dia pertanyakan mengenai Islam ideal
dan Islam realita, ajaran dan praktika agama Kristen, bahkan Yahudi yang hampir
sepenuhnya dia komparasikan dengan apa yang dia dapati dalam peradaban
Barat, dimana dia hidup saat ini, yakni
di Kanada.
Profesinya sebagai seorang
jurnalis memungkinkan baginya untuk bisa menuturkan pengalaman (baca :
pencarian) ‘spiritual’ yang sesungguhnya bebannya ‘sangat berat’ ini dalam
bentuk yang ringan dan mengalir, sekalipun pada saat yang sama kita bisa
menangkap emosi kemarahan, kekecewaan dan bahkan keputus asaan yang
meledak-ledak, yang mendorongnya memproklamirkan diri sebagai Muslim Refusenik (Pemberontak).
Secara
anatomis, pengalamannya tersebut dituangkan ke dalam 223 halaman buku dengan 9
bab tulisan ditambah bagian pengantar dan penutup :
BAB I Berjudul Kenapa
Aku Menjadi Muslim Refusenik, berceritera tentang pengalaman-pengalaman
pahit yang dia alami dalam hubungannya dengan Islam dan prakteknya. Perbudakan
dan diskriminasi orang-orang Afrika Utara (Muslim) atas penduduk asli dan non
Afrika (yang juga Muslim) yang dia lihat semasa kecil, pengalaman menikmati
indahnya ‘kebebasan dan toleransi tanpa batas’ di Gereja Richmon, kekecewaannya
atas praktik madrasah dan mesjid yang dikatakannya ‘mengkarantina 2 jenis
kelamin’ sekaligus ‘mempartisi otak dan jiwa’, kemarahannya atas guru madrasah
yang mengusir dirinya ketika pusing menjawab pertanyaan-pertanyaan kritisnya
seputar doktrin Islam (terutama doktrin tentang posisi perempuan,
praktek-praktek ibadah yang dianggapnya sangat ritmik dan kompleks, syariah yang
menurutnya tak lebih dari praktek mekanik tanpa jiwa, serta doktrin antisemit
yang terus dicekokkan oleh para pemuka Islam), menjadi inspirasi baginya untuk
mulai melakukan pencarian identitas dan bersikap kritis terhadap keimanan,
hingga akhirnya --dengan alasan setia pada keadilan—memutuskan untuk tetap
menjadi Muslim tetapi Muslim yang Refusenik.
Pada bab ini, dia juga bercerita
tentang kerja kerasnya menemukan ukuran-ukuran yang obyektif dalam praktek
Islam, bagaimana apresiasinya terhadap kebebasan yang disuguhkan Barat yang
memungkinkan bagi setiap orang –-termasuk dirinya—untuk bereksplorasi,
bagaimana tanggapannya tentang sikap Khomeini yang pada 14 Pebruari 1989
memfatwakan hukuman mati pada penulis Ayat-Ayat Setan, Salman Rushdie atau
tentang ketidaksukaannya terhadap serangan Edward Said atas gerakan
orientalisme yang dikembangkan oleh Barat.
Selain itu, Irshad juga secara ekspresif
mengungkapkan kegalauan pikirannya atas statusnya sebagai lesbi di satu sisi
dan identitas kemuslimannya disisi yang lain, melalui pertanyaan-pertanyaan
semisal : “Jika Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Kasih menghendakiku menjadi
lesbi, mengapa Dia masih memberiku kesempatan hidup ?” atau “ Bagaimana mungkin
AlQur’an pada saat yang sama mencela homoseksualitas dan menyatakan bahwa Allah
membuat sempurna segala sesuatu yang Dia ciptakan?” (h. 25); sebuah pertanyaan,
yang menurut saya sangat naif dan apologetic.
BAB II berjudul
Tujuh puluh Perawan? (h. 29). Di
bagian ini, Irshad menyampaikan konklusinya bahwa selama ini Islam selalu
menjadi agama tribal yang mengkhawatirkan
akibat pencampuradukannya dengan budaya. Karenanya dia menyerukan reformasi
yang dimulai dengan mempertanyakan validitas Al-Qur’an dan Hadits. Menurutnya,
Al-Qur’an hanya menjadi dokumen yang
diimitasi ketimbang diinterpretasi. Sementara hadits, menurutnya hanya berfungsi
sebagai kereta ekspres kebaikan yang membawa kita pada kematian otak!.(h.31).
Dengan keberanian (baca :
kenekadan) penuh, Irshad juga menuding AlQur’an sebagai sumber hukum yang kaku,
penuh kontradiksi, tidak transparan dan penuh teka-teki serta sangat jauh dari
sempurna (h.33-38). Dia menyitir beberapa ayat sebagai hujjah atas pendapatnya,
semisal ayat-ayat tentang nusyudz, ayat tentang siapa yang pertama kali
diciptakan, apakah adam (laki-laki) atau Hawa (perempuan), ayat tentang
perempuan yang dianalogikan sebagai ladang, dan lain-lain yang (menurutnya)
secara implisit melegalisasi superioritas laki-laki atas perempuan.
Di bab ini, Irshad juga secara
narsis menohok konsep jihad dalam Islam sehubungan dengan kasus 11 September,
yang menurutnya juga menunjukkan inkonsistensi alQuran. Menurutnya, di satu
sisi Islam membawa pesan damai, tapi disisi yang lain Islam mengajarkan
kekerasan, intoleransi dan kesombongan rasial. Menurutnya, ada hal yang tidak
ditangkap secara benar oleh umat Islam tentang hakekat ajaran Islam. Dia
berpendapat, ketika Islam menyatakan banyak hal tentang Yahudi dan Nasrani, itu
sesungguhnya menunjukkan bahwa Islam memang lahir dari rahim tradisi Yahudi dan
Kristen yang karenanya mengharuskan saling pengertian. Hanya saja,
inkonsistensi al-Quran lagi-lagi ditunjukkan ketika Islam menganjurkan
fastabiqul khoirot dan saling ta’aruf antar bangsa, tetapi pada saat yang sama
mengajarkan tribalisme, termasuk perang atas nama Allah. Hal ini menurutnya
disebabkan ketidakmampuan Muhammad dan pengikutnya memahami pesan Tuhan tentang
kasih sayang. Peristiwa hijrah, dalam kacamata Irshad Manji hanyalah momen
ketika pesan kasih sayang yang diajarkan Tuhan berubah menjadi semangat
pembalasan. Dan peristiwa ini menurutnya menjadi inspirasi awal bagi tradisi
kekerasan dan terorisme atas nama agama yang berlanjut hingga saat ini. Atas
dasar logika inilah dia –lagi-lagi—menyimpulkan, bahwa al-Quran penuh dengan kontradiksi,
bahkan kesempurnaan dan akurasinyanya mencurigakan. Untuk ketidak akuratan
al-Qur’an, antara lain dia menyitir tentang makna “hur” yang selama ini
dimaknai jumhur sebagai bidadari perawan surga menurutnya tidak tepat. Makna
yang tepat menurutnya bukan perawan melainkan kismis. Sehingga menurutnya, orang-orang
yang berjihad bukan akan mendapatkan “hadiah” 70 perawan di surga, melainkan
hanya “kismis”(h.46).
Bab III berjudul Kapan
Umat Islam Berhenti Berpikir?(h.47). Di bab ini, Irshad menyatakan
kekecewaannya atas kebohongan-kebohongan kelompok Islam mainstream (istilah
untuk kelompok syariah minded) untuk mengakui adanya masalah serius dalam Islam
dan justru secara represif berupaya meromantisasi Islam. Dia menyebut kelompok
ini sebagai kelompok yang beku secara intelektual dan rusak secara moral.
Pada saat yang sama, dia mempertanyakan konsep
dan praktika ijtihad sebagai tradisi berpikir independen yang menurutnya sudah
kehilangan makna akibat munculnya otorisasi kelompok agamawan yang berujung
pada otoritarianisme pemikiran. Padahal menurutnya tradisi itu pernah membawa umat
Islam pada jaman keemasan dimana toleransi begitu ditinggikan. Lebih lanjut dia
berpendapat, bahwa yang menyegel akhir jaman keemasan itu bukan karena
Barat dan Perang Salib, melainkan semata akibat kelemahan diri sendiri. Dia
sangat tidak sependapat dengan –dalam bahasa saya-- teori
konspirasi terkait hubungan Islam-Barat. Dia lebih percaya bahwa umat Islam
dan Islamlah yang bertanggungjawab atas berbagai kemunduran, khususnya akibat
tertutupnya pintu ijtihad yang berdampak pada munculnya tradisi “memuja pengulangan-pengulangan hukum
syariah”. Bahkan menurutnya, penjiplakan sudah menjadi norma dalam Islam,
terutama penjiplakan terhadap intoleransi yang antara lain terlihat dalam
konsep dan praktika Islam tentang dzimmah
dan jizyah.
BAB IV berjudul Gerbang
dan Korset (h. 65) yang banyak bercerita tentang perjalanannya ke Israel
dalam rangka meneliti tentang hubungan buruk Arab-Israel. Di bab ini, dia
menceritakan tentang ketercengangannya mendapati fakta bahwa Yahudi-Israel tak
seburuk gambaran media dan opini umat Islam yang selama ini didapatnya. Dia
begitu mengagumi perlakuan orang Yahudi yang menyambut dan melayaninya dengan
sangat baik, sikap toleransi mereka atas keberadaannya sebagai ‘muslim’, juga
tentang solidaritas dan kebebasan pers yang dikembangkan masyarakat Israel.
Pada saat yang sama, dia membandingkan bagaimana buruknya perlakuan orang-orang
Muslim ketika dia memasuki wilayah mereka di Palestina, termasuk ketika dia
terpaksa harus menggunakan pakaian tertutup dengan korset sebagai tanda warga
negara asing dan dipaksa ditest membaca surah al-Fatihah untuk membuktikan
kemuslimannya.
BAB V berjudul Siapa
Menghianati Siapa? (h. 84) masih menceritakan pengamatannya atas entitas
Yahudi dan Muslim di Israel, berikut sikap (para penguasa) Arab atas apa yang
terjadi di Palestina. Dia berkesimpulan, bahwa selama ini umat Islam sudah
bertindak tidak adil. Begitu banyak dosa yang ditimpakan umat Islam kepada
orang-orang Israel atas krisis pengungsi Palestina. Dia menyebut sikap tersebut
sebagai kemunafikan Arab, yang terutama ditunjukkan oleh para penguasa mereka
seperti Saddam, dan lain-lain, pada kasus Palestina, serta buruknya sikap
negara-negara Islam yang masih memperlakukan perempuan seperti comberan dan
membuat hidup seperti di neraka atas orang-orang non muslim.
BAB VI
berjudul Wilayah-Wilayah Rawan dalam
Islam (h. 116). Di bagian ini Irshad menyampaikan beberapa kritiknya atas
ajaran Islam yang menurutnya membutuhkan kritik atas dirinya sendiri. Antara
lain tentang homoseksualitas, tentang previlese yang diklaim oleh etnis Arab,
tentang tribalisme padang pasir yang lekat dengan tradisi Islam, tentang
ajaran-ajaran yang disebutnya sebagai ‘penjajahan agama’ semisal jilbab,
penggunaan bahasa Arab (dalam ritual) dan praktek atau cara-cara beribadah.
Dalam hal ini dia katakan: “membeo dalam hal pakaian, bahasa atau cara ibadah
orang-orang padang pasir (termasuk shalat menghadap ka’bah berikut syarat
rukunnya) tidaklah berarti mengikuti Tuhan yang universal, yang katanya (seraya
menyitir ayat) menguasai Timur dan Barat dan mengerti segala bahasa.
Selain hal-hal diatas, dia
juga membahas tentang fundamentalisme agama yang analisisnya diawali dengan
mempertanyakan apakah al-Qur’an ditulis Allah dari awal sampai akhir?. Dia
sendiri meragukan hal tersebut, bahkan berusaha meyakinkan, bahwa ada alasan
kuat (tanpa menyebut alasannya) untuk menyatakan bahwa alQuran mempunyai
ketidaksempurnaan karena telah dimanipulasi oleh kepentingan politik sepanjang
sejarahnya. Menurutnya, puncak dari manipulasi tersebut kemudian berujung pada
reformasi Turki berikut reaksi-reaksi yang mengikutinya dengan kemunculan tren
“keranjingan masa permulaan Islam” yang ditunjukkan oleh kemunculan
gerakan-gerakan semacam wahhabi (Ibn Taimiyah) dan ikhwanul Muslimin (Sayyid
Quthb) hingga saat ini. Peristiwa penentangan kaum Muslim mainstream atas
Kontes-kontes kecantikan dan maraknya aksi terror, dijadikan sebagai bukti atas
munculnya gerakan-gerakan romantisasi Islam tersebut. Bahkan atas fenomena ini,
Irshad mewanti-wanti : fundamentalisme
tengah menghancurkan kita!
Dari fakta-fakta inilah,
Irshad mengekspresikan beberapa obsesinya : (1) merevitalisasi ekonomi dengan
melibatkan potensi perempuan, (2) memberi tantangan pada bangsa Arab padang
pasir untuk melakukan penafsiran yang beragam terhadap Islam, (3) bekerjasama dengan
Barat dan tidak malah melawannya. Jika ketiga obsesinya ini terwujud, Irshad
berjanji akan berhenti menjadi refusenik.
BAB VII
berjudul Operasi Ijtihad. (h. 137).
Di bab ini Irshad lebih banyak bercerita tentang hubungan Islam dengan
perempuan dan kaum minoritas. Menurutnya Islam sangat merendahkan perempuan dan
minoritas, sehingga apa yang dia sebut sebagai operasi ijtihad sangat mendesak
untuk dilakukan. Operasi Ijtihad yang dia maksud adalah interpretasi teks-teks
keagamaan tentang perempuan dan kaum minoritas yang harus dimulai dengan cara
memberdayakan perempuan muslim secara ekonomi (melalui wirausah/bisnis) dan
melakukan percakapan antar iman.
BAB VIII
berjudul Kaum Muslim Perlu Bersikap Jujur. (h. 184) yang diawali dengan
pernyataan kekagumannya atas pikiran-pikiran Salman Rushdie. Di bab ini Irshad mengangkat
gagasan pentingnya kaum muslim untuk introspeksi atas keagamaannya dan berhenti
menghujat Barat dan AS sebagai biang kerusakan yang terjadi di dunia Islam.
Secara retoris, Irshad mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan seputar pandangan
kaum Muslim atas Barat yang secara keseluruhan menurutnya sangat subyektif dan
tidak adil, bahkan menunjukkan bahwa tradisi Islam lebih buruk daripada Barat.
Menurutnya, banyak hal yang bisa kaum muslim ambil dari Barat dan AS, yang
dianggap lebih dewasa mensikapi perbedaan, menghargai individualitas dan siap
melakukan otokritik. Karenanya, di bab ini Irshad begitu gencar meyakinkan kita
untuk melakukan reformasi, dengan cara menanggalkan pembacaan literal atas
agama sekaligus mengadopsi multikulturalisme dan individualitas yang
dipraktekkan Barat dan AS, yang menurutnya terbukti memberikan ketenangan
(h.187).
BAB IX
berjudul Terimakasih pada Peradaban Barat.
(h. 197). Di bagian ini Irshad secara ekspresif mengungkapkan rasa bahagianya
bisa hidup di dalam peradaban Barat yang menurutnya dipenuhi dengan spirit
eksplorasi sebagai oksigennya. Peradaban yang memungkinkan bagi setiap orang
mengekspresikan dirinya tanpa dibayang-bayangi rasa takut dan terancam. Peradaban
yang begitu mengedepankan pluralism warga dan pluralism ide, yang karenanya ‘iman
Islamnya’ merasa terselamatkan. Di bagian ini dia banyak bercerita tentang pengamatannya
terhadap orang-orang Barat pasca peristiwa 11 September yang tetap bersikap sopan
pada orang-orang Muslim, berbeda dengan sikap orang Muslim terhadap Barat yang
kerap menuding peristiwa itu sebagai hasil konspirasi melawan Islam.
Di bagian ini Irshad juga
mengungkapkan mengenai hasil eksplorasi dan interpretasinya terhadap AlQur’an.
Menurutnya ada tiga pesan penting alQuran yang banyak diabaikan umat Islam,
yakni pertama, bahwa hanya Tuhan yang
tahu kebenaran dari segala hal. Kedua,
hanya Tuhan yang bisa menghukum orang yang tidak beriman dan itu berarti bahwa
hanya Tuhan yang tahu apa itu keimanan sejati. Dan dengan mencermati
tingkat-tingkat emosi dari alQuran yang luar biasa besar, sungguh hanya Tuhan
yang Maha Tahu bagaimana semua itu berkaitan. Ketiga, kesadaran kita akan membebaskan diri kita untuk merenungkan
kehendak Tuhan tanpa kewajiban apapun untuk tunduk pada tekanan dari prinsip
atau tahapan tertentu.
BAGIAN
PENUTUP. Di bagian ini Irshad banyak mengutip surat-surat tanggapan dan
dukungan atas perjuangannya melawan apa yang disebutnya sebagai ‘penjajahan
agama’. Beberapa catatan penting mengakhiri “tantangan-tantangan”nya dengan
menyatakan bahwa Islam yang terreformasi tidak harus menjadi proyek yang
lumpuh. Menurutnya, kaum muslim di Barat
mempunyai kesempatan luhur untuk menghidupkan ijtihad sebagai tradisi berpikir
independen dalam Islam.
Komentar Saya
Terus terang, saya tidak terlalu surprise atas gagasan pokok dari tulisan karya Irsyad Manji, kecuali atas
caranya menyampaikan gagasan-gagasan tersebut yang saya nilai sangat berani dan
terang-terangan. Jelas, bahwa saat ini Irshad Manji sedang memposisikan dirinya
berlawanan dengan pandangan kaum Muslim Mainstream, sebab selain sebagai
seorang feminis yang kerap menggugat konsep-konsep Islam yang dianggap mengukuhkan
ketidakadilan sistemik kepada perempuan, dia juga seorang lesbian yang dalam
pandangan Islam –bahkan dalam pandangan agama manapun-- sangat dicela dan tak
terampunkan.
Adapun beberapa gagasan pokok
yang saya tangkap dari karya Irshad Manji ini antara lain :
1.
Dia
ingin ‘membuka mata’ kaum muslim tentang adanya ketimpangan/disparitas antara
realita agama yang mereka anut dengan gagasan idealnya. Ketertutupan kaum
muslim atas fakta ini dia anggap telah menyebabkan fanatisme membabi buta yang
terekspresikan pada sikap kaum muslim yang secara umum intoleran, rasis dan
keras sebagaimana secara pribadi dia alami sepanjang hidupnya. Menurutnya,
sikap-sikap semacam ini bukan semata karena ‘kesalahpahaman’ umat Islam
terhadap ajaran Islam, melainkan akibat ‘cacat bawaan’ dari ajaran Islam
sendiri, sebagaimana kritik pedasnya terhadap otentisitas dan validitas al-Qur’an-Hadits
sebagai sumber utama ajaran Islam. Persoalan seputar ajaran Islam tentang
perempuan, hak-hak minoritas, pandangan terhadap Israel dan jihad, secara
konsisten dia ekspose sebagai contoh
buruk ajaran Islam. Pada saat yang sama, sebagai solusinya dia munculkan konsep
ijtihad dengan pemaknaan baru, yang bukan sekedar gagasan merekonstruksi,
melainkan mengarah pada ajakan mendekonstruksi ajaran Islam.
2. Dia ingin meyakinkan kaum muslim,
bahwa kebenaran agama adalah relative, sementara relativisme yang bersumber
dari akal adalah mutlak benar. Karenanya, dia menolak ideologisasi agama
(islam), dalam arti menolak Islam sebagai aqidah yang melahirkan sistem aturan
kehidupan, baik menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan (ajaran tentang iman,
aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya (masalah makanan, minuman,
pakaian, akhlaq) dan hubungan manusia dengan manusia yang lainnya
(poleksosbudhankam). Bahkan dia menolak adanya prinsip ketaatan sebagai konsekuensi iman. Baginya, iman (secara
keyakinan) kepada Tuhan adalah cukup, sementara prinsip ketaatan atau tunduk
akan kehendak Tuhan (sebagaimana syariah) tidak boleh lahir atasnama kewajiban,
melainkan harus lahir dari sebuah kesadaran. Dengan demikian menurutnya, apapun
ekspresi keimanan yang ingin ditunjukkan seseorang selama lahir dari
kesadarannya, maka itu harus diterima sebagai sebuah keniscayaan, termasuk
ketika seorang Muslim shalat dengan kreasinya sendiri atau bahkan jika tidak
shalat sama sekali. Dengan paradigma ini pula, dia ingin melegalisasi
keimanannya di satu sisi dan kelesbianannya disisi yang lain dengan jargonnya :
“Beriman tanpa rasa takut”.
3. Dia ingin mengubah pandangan umat
Islam mainstream terhadap Barat dan
Israel. Pengalaman ‘manis’ pribadinya
saat bersentuhan dengan ‘sedikit’ peradaban Barat dan Israel, menjadi dasar
baginya untuk menyampaikan puji-pujian yang nyaris tanpa batas, seolah ingin
menyatakan bahwa pandangan kaum Muslim dan ajaran Islam tentang keduanya selama
ini salah besar dan tidak adil. Dalam pandangannya, Barat (khususnya AS) dan
Israel adalah dua entitas yang jauh lebih beradab daripada kaum muslim, hingga
kaum muslim harus belajar, bahkan berterimakasih (sebagaimana yang dilakukannya
dengan senang hati) kepada mereka.
4. Dia ingin meyakinkan masyarakat
dunia tentang bahaya revivalisme
Islam atau fundamentalisme Islam.
Meski tidak secara eksplisit seruan ini disampaikan, akan tetapi pengkaitan
antara buruknya kondisi ril umat Islam dengan ajaran Islam merupakan cara jitu
untuk meyakinkan bahwa ajaran Islam anti
kemajuan. Begitupun pengkaitan aksi-aksi terror yang banyak terjadi atasnama Islam dengan ajaran Islam
menjadi alat ampuh untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama penyebar terror. Dan
karenanya seruan-seruan untuk kembali kepada ajaran Islam, atau yang dia sebut
gerakan meromantismekan Islam harus diwaspadai bahkan harus diberangus.
Bahwa
kaum muslim punya segudang persoalan memang tidak bisa dinafikan. Senyatanya, hari
ini kaum muslim memang mengalami ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan.
Secara politik dan ekonomi negara-negara mereka tidak punya bargaining, bahkan cenderung menjadi
objek neo imperialisme negara-negara besar
kapitalis, termasuk Yahudi. Secara budaya, mereka juga sudah terjajah. Food, Fashion, Fun, Film menjadi alat
efektif yang digunakan negara-negara besar tadi untuk menjamin imperialisme
politik mereka dan mengukuhkan cengkraman hegemoni kapitalisme global (sebagai
pasar dan sumber bahan baku potensial) sekaligus menggiring kaum muslim membebek
modernisasi Barat hanya pada aspek-aspek artifisial semata.
Benar
juga bahwa kondisi di atas bukan seluruhnya kesalahan Barat dan Yahudi. Kaum
Muslim bahkan punya andil besar dalam memperpuruk dirinya sendiri dalam
kubangan kehinaan ini. Kaum Muslim sudah lama kehilangan jati dirinya sebagai
umat Islam yang khoiru ummah sejalan
dengan hilangnya kepemimpinan berpikir mereka yang sahih dan fitri. Yakni, akidah
dan sistem Islam sebagai kepemimpinan berpikir yang akan menuntun mereka
menjalani kehidupan, memecahkan problema-problema yang muncul, mendorong peningkatan
kualitas hidup dengan pengembangan ilmu dan teknologi dan menggencarkan
berbagai eksperimen untuk memperoleh inovasi-inovasi baru sebagaimana ini semua
ditunjukkan oleh generasi kaum muslim terdahulu. Kini, mereka jauh tertinggal
oleh Barat, yang sebelumnya justru terdorong memproses kebangkitan setelah
persentuhannya dengan peradaban gemilang Islam di abad pertengahan. Melalui Revolusi Perancis, lahirlah pemikiran
sekularisme sebagai kepemimpinan berpikir mereka, yang dengannya mereka bangun
peradaban baru, yakni kapitalisme dengan segala ide turunanya, yang lambat laun
menggantikan kepemimpinan Islam atas dunia hingga sekarang.
Namun
demikian, saya tidak sepakat jika fakta buruk tadi dihubungkan dengan ajaran
Islam. Fakta buruk adalah satu sisi, sedangkan ajaran Islam ada di sisi yang
lainnya. Penggunaan logika deduktif (generalisasi) pada kasus-kasus
sebagaimana yang disebutkan Irsyad Manji terkesan terlalu menyederhanakan
masalah. Bagaimana bisa, pengalaman dan pengamatan pribadi atas kasus yang
kuantitasnya juga terbatas, bisa dijadikan dalih untuk menyimpulkan bahwa ada
yang salah dari ajaran Islam (bukan sekedar salah persepsi terhadap ajaran
Islam). Secara imani, keyakinan seperti ini tentu tak layak dimiliki oleh orang
yang mengaku beriman, bahkan kontradiktif dengan pengakuan keimanan sebagaimana
yang diklaim Irsyad atas dirinya sendiri. Iman atas Islam mana yang dia
maksudkan? Terlebih, secara fakta, kaum muslimin saat ini tidak sedang hidup
dalam sistem Islam melainkan dikungkung oleh dominasi kapitalis sekuler di
seluruh bidang kehidupan, sehingga tidak
fair jika Islam (kaum muslim sebagai korban) dipersalahkan sebagai biang terjadinya kemunduran kaum Muslim.
Adapun
berbagai fakta yang dia jadikan dalih untuk mengatakan bahwa Islam itu buruk,
memang tak bisa dinafikan adanya. Namun hal ini harus dibaca sebagai sebuah
penyimpangan penerapan ajaran Islam, bukan menunjukkan kerusakan ajaran Islam.
Munculnya kasus-kasus perbudakan, perlakukan buruk atas perempuan dan
minoritas, indoktrinasi dalam proses penanaman keimanan, intoleransi diluar
masalah akidah dan ibadah, terorisme (jihad diluar konteks pembelaan diri)
adalah bentuk-bentuk penyimpangan dalam penerapan Islam. Karena faktanya, jika
ditelaah, Islam justru melawan perbudakan, meninggikan harkat martabat perempuan
dengan cara yang sahih dan fitri (bukan dalam perspektif yang dikembangan
feminis/genderis), mengajarkan toleransi dan harmoni, serta mengutuk tindakan
terror. Penyimpangan ini niscaya, mengingat pemikiran umat sudah sedemikian
lemah akibat pembodohan politik yang dilakukan ratusan tahun oleh penjajah dan
selanjutnya diperkukuh oleh penerapan
sistem pendidikan sekuler di dunia Islam.
Terkait
dengan konklusi ini, bahkan saya berpikir, bahwa keberadaan orang-orang semisal
Irsyad Manji adalah produk dari proses sekularisasi Islam. Betapa tidak? Pengagungannya
atas akal dan gagasan deidiologisasi Islam melalui dekonstruksi alQur’an yang
diserukannya, bukan lagi sekedar upaya menyempitkan makna Islam sebagai sistem
hidup yang komprehensif menjadi sekedar sistem aqidah dan ibadah ritual saja,
melainkan juga upaya berani mengebiri Islam hanya sebagai keyakinan saja, tanpa embel-embel
ibadah sebagai manifestasi iman. Dalam pandangannya, iman saja sudah cukup
menjadikannya muslim, tanpa harus terikat oleh aturan, dan
pembatasan-pembatasan lainnya. Dan iman tanpa konsekuensi seperti ini menurut
saya justru tidak masuk akal.
Begitupun
dengan keberaniannya menghujat alQur’an dan Hadits, menjadi bukti betapa
sekularisme telah merasuk dan menjadi hal yang sesungguhnya diimani oleh Irsyad
Manji. Pada saat yang sama, tanpa sadar pengalaman pahit yang dialami dalam
hidupnya telah membentuk emosi sekaligus praanggapan (a priori) bahwa apapun yang berasal dan berbau Islam, pasti buruk.
Emosi dan praanggapan subyektif inilah yang kemudian dia jadikan sebagai
kacamata untuk menilai Islam, termasuk menilai sumber utama pemikiran Islam,
yakni alQur’an dan alHadits. Dalam hal
ini, Irsyad menggunakan pendekatan hermeneutik --yang sebenarnya hanya layak
digunakan pada objek kajian empirik yang bisa diuji dengan kaidah eksperimental--
sebagai metoda berpikirnya. Pendekatan ini dia gunakan untuk menguji keabsahan
(otentisiitas dan validitas) alQuran. Padahal otentisitas dan validitas
alQur’an sesungguhnya bisa dibuktikan oleh akal dan diuji secara ilmiah, bahwa
dia betul-betul Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad dalam bahasa Arab
dan disampaikan secara muttawatir.
Penggunaan metode hermeneutik inilah yang menyebabkan Irsyad Manji tak mampu
menangkap hakekat syar’iyah dari
alQur’an, melainkan hanya mampu menangkap hakekat
lughawiyahnya saja. Terlebih, metode berpikir ini, secara konsep memang menafikan/menolak anggapan, akan tetapi
faktanya para pengguna metode ini pasti akan terjebak dalam anggapan yang telah
dibuatnya (disebut hermeneutic cyrcle,
antara lain anggapan yang lahir dari pengalaman hidupnya seperti kasus Irsyad
atau anggapan yang lahir dari paham sekulaisme lainnya). Itulah kenapa Irsyad
sampai berani berkesimpulan, bahwa alQur’an adalah kitab yang Inkonsisten,
tidak valid, penuh pertentangan, mencurigakan, dan lain sebagainya, sekalipun ironisnya
pada saat yang sama dia juga menggunakan dalil-dali alQur’an untuk melegitimasi
pemikiran-pemikiran dan sikap-sikap liberalisnya.
Adapun
mengenai pendapatnya bahwa kebenaran adalah relative sementara relativisme yang
berdasar akal itu mutlak benar, juga tidak bisa saya terima. Menurut saya, kebenaran
dalam masalah iman itu mutlak, sekalipun mutlak untuk diri sendiri. Jadi klaim
atau keyakinan seseorang bahwa semua benar atau semua salah dalam masalah Iman,
merupakan logika yang dalam istilah Prof. Dr. Juhaya tidak memiliki self consistency. Artinya, pernyataannya
tersebut menyalahi keimanannya sendiri. Bagaimana bisa dia menyatakan beriman
pada kebenaran Islam (misalnya) sementara pada saat yang sama menyatakan benar kepada
ajaran yang lainnya. Lantas, jika dia beriman, iman kepada agama mana yang dia
maksudkan? Apa alasan memilih ajaran A dan tidak ajaran B jika seseorang
berkeyakinan bahwa semuanya benar atau semuanya salah?
Saya
pikir, klaim benar salah dalam masalah iman adalah sesuatu yang sangat masuk
akal atau bisa diterima akal, sekalipun pada faktanya kita tak bisa memaksakan
orang lain untuk memiliki pendapat yang sama tentang mana yang benar dan mana
yang salah. Islam sendiri memiliki ajaran indah mengenai konsep ini.Yakni, La ikraha fi ad-din atau lakum dinukum waliyadin, yang dalam
tataran praktis diterapkan melalui ajaran tasamuh
(toleransi) sesuai batasan-batasan syariat (tidak melanggar akidah dan tidak
mengarah pada sinkretisme). Sayangnya, konsep ini sering disalahgunakan justru
untuk mendalili ajaran relativisme yang tak lebih dari sikap apologetik
menghadapi ghazwul fikr dari Barat.
Saya
sendiri sebenarnya merasa kurang nyaman dengan dikotomi Islam-Barat, mengingat persoalannya
memang bukan sekedar persoalan Islam versus Barat, termasuk dalam hal ini
Yahudi. Persoalannya, selain klaim akidah, sejarah memang menunjukkan bahwa
selalu ada persoalan antara Islam dengan Barat, dalam hal ini menyangkut perang
ideology, atau perang peradaban, apapun motifnya, apakah ekonomi atau politik
(hegemoni kepemimpinan). Fakta terdekat, bagaimana baru-baru ini Amerika tanpa
ampun menganeksasi Afghanistan dan Irak; Bagaimana Israel melakukan genocide atas penduduk Palestina sementara
Amerika yang punya kekuatan politik sebagai globocop
cuma diam, bahkan mengamininya; Bagaimana AS terbukti terlibat dalam serangkaian
operasi intelejen dalam proses pergantian berbagai rezim kekuasaan di
negeri-negeri Islam; Bagaimana AS membantu berbagai gerakan desintegrasi di
negeri-negeri Islam; Bagaimana AS
melalui perpanjangtanganannya (PBB, NGO Internasional, Foundation, dll)
melakukan intervensi atas berbagai kebijakan dalam negeri negara-negara ketiga,
termasuk Islam; Bagaimana AS menggunakan berbagai standar ganda dalam menilai
dan mensikapi berbagai fenomena politik yang terjadi atasnama HAM,
Demokratisasi dan liberalisasi; Dan lain sebagainya. Bukankah semua fakta ini
menunjukkan memang ada masalah antara dunia Timur dan Barat, yang diakui atau
tidak merupakan penampakkan dari friksi ideologis Islam versus Kapitalisme?
Pernyataan Bush tentang “The New Crussade” adalah salah satu buktinya.
Karenanya,
atas dasar fakta-fakta telanjang ini, jelas bagi saya bahwa Irsyad telah
berbuat tidak adil atas kaum muslim. Secuil pengalaman dan pengamatan
pribadinya yang sangat subyektif dan personal atas ‘sisi baik’ peradaban Barat,
seolah menghapus sebegitu telanjang perlakuan buruk Peradaban Barat dan Israel
yang melampaui istilah terror atas Islam dan kaum muslim. Jika sekian ratus orang Yahudi mati akibat
serangan 11 September yang dilakukan oleh segelintir orang Islam (dengan asumsi klaim ini benar, mengingat banyak
bukti yang menunjukkan kasus ini rekayasa) dikatakan sebagai terror, lantas apa
sebutan bagi AS, dunia Barat dan Israel yang secara sistematis dan tanpa ampun
membunuhi atau mendiamkan tragedy pembunuhan jutaan kaum muslim, termasuk
penduduk sipil tak berdosa (wanita dan anak-anak) atasnama perang melawan
terror atau bahkan sekedar untuk merampok tanah air mereka? Apa pula sebutan
bagi AS, Israel dan dunia Barat
kapitalis, yang atasnama liberalisasi ekonomi dan globalisasi, melakukan
penjajahan ekonomi dan pelan-pelan menghisap darah penduduk dunia ketiga,
memeras sumberdaya mereka, terutama umat
Islam hingga mereka miskin dan tak berdaya? Dimanakah nurani dan akal pikiran
orang-orang semacam Irsyad Manji?
Selain
tidak adil, Irsyad juga kurang jeli menilai, bahwa peradaban Barat berupa
gagasan individualisme, pluralisme dan liberalisme yang dia agung-agungkan
sesungguhnya menyimpan banyak persoalan bagi peradaban Barat sendiri. Krisis
moral yang terjadi (termasuk merebaknya perilaku seks bebas dan seks menyimpang
sebagaimana dirinya) yang berdampak pada kehancuran generasi, krisis spiritual
yang ditunjukkan dengan meningkatnya angka bunuh diri dan berkembangnya
sekte-sekte aneh, krisis ekonomi yang sangat parah dan berdampak global sebagaimana
terjadi hari ini, serta krisis-krisis lainnya –dimana menurut pengamatan John
L. Esposito Amerika selalu menempati Nomor 1-- menunjukkan betapa rapuh
peradaban Barat yang dibangun diatas landasan sekularisme dan penuhanan atas
akal, jauh lebih parah dari apa yang pernah ditinggalkan oleh peradaban
Islam yang pernah tegak belasan abad bagi peradaban dunia dan kemanusiaan.
Lantas apa lagi yang layak dibanggakan dari peradaban Barat? Bukankan kemajuan
material yang dicapai AS dan dunia Barat tak bisa menggantikan kerugian super
besar akibat hilangnya makna kemanusiaan dan peradaban hakiki?
Dengan
demikian, jelas bahwa pemikiran-pemikiran Irsyad Manjilah (menurut saya) yang
mengandung banyak kelemahan, inkonsisten, tidak valid, bahkan mencurigakan.
Keinginannya untuk beriman tanpa rasa
takut justru membuatnya terjebak
dalam rasa takut. Takut atas kenyataan bahwa Islam dan Barat tak seperti yang
dia harapkan, sehingga dia rela mengabaikan kemampuan intelektualitasnya untuk
melihat segala sesuatu secara adil dan obyektif. Bahkan, dia rela mengabaikan
iman hakikinya demi iman imajinatifnya.
‘Ala kulli hal, bagi saya –sekali lagi—ini tidak
mengejutkan. Orang-orang seperti Irsyad Manji akan selalu menjadi bagian dari skenario
perang peradaban antara Islam dan Barat. Hanya saja, secara pribadi tentu saya
berharap dunia ini berubah penuh dengan kedamaian, tanpa dikotomi Islam dan
Barat atau embel-embel rasis apapun yang seringkali berujung pada tindakan
terror dan ketidakadilan. Dan harapan ini hanya bisa wujud jika Islam sebagai
ajaran yang diturunkan Dzat Pencipta manusia, Pencipta Timur dan Barat,
dipahami dan diterapkan sebagaimana seharusnya. Karena Islam sejatinya adalah Rahmatan lil ‘Alamin.
Terakhir,
saya juga berharap, orang percaya bahwa intelektualitas dan optimalisasi
rasionalitas akan sejalan dengan fitrah penciptaan manusia. Sehingga secara
alami pula, mereka akan beriman dan sekaligus tunduk tanpa reserve (tasliman) pada kehendak pemilik
Kehidupan, yakni Allah SWT, TANPA RASA TAKUT sedikitpun! Firman ALLah :
Ÿxsù y7În/u‘ur Ÿw šcqãYÏB÷sム4Ó®Lym x8qßJÅj3ysム$yJŠÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO Ÿw (#r߉Ågs† þ’Îû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøŠŸÒs% (#qßJÏk=|¡ç„ur $VJŠÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Rasul) sebagai pemutus
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima sepenuhnya” (QS. An-Nissaa’ :65)
Wallahu a’lam
bish-shawab. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar