Sabtu, 12 Mei 2012

KRITIK ATAS BUKU “BERIMAN TANPA RASA TAKUT” KARYA IRSHAD MANJI (www.irshadmanji.com)


Oleh : Siti Nafidah Anshory  (Ditulis tgl 1/3/2011 lalu)

Sekilas Anatomi Buku
                Buku yang ditulis dalam bentuk surat terbuka ini bercerita tentang pergolakan pemikiran yang dialami Irshad Manji, seorang feminis Muslim keturunan India yang –berdasarkan pengakuannya- juga seorang lesbian. Berbagai pengalaman keagamaan yang dialaminya sejak kecil, khususnya menyangkut hubungannya yang tidak menyenangkan dengan Islam, berikut praktek-praktek Islam dalam kehidupan sosial yang dilihatnya kontradiktif antara idealita dan realita, telah memunculkan berbagai pertanyaan mendasar mengenai Islam, yang sayang –menurutnya-- tidak mampu dijawab oleh Islam itu sendiri. 
                Pergolakan pemikiran ini terjadi sedemikian hebat hingga pada titik dimana dia hampir menanggalkan kemuslimannya. Banyak hal filsafatis yang dia pertanyakan mengenai Islam ideal dan Islam realita, ajaran dan praktika agama Kristen, bahkan Yahudi yang hampir sepenuhnya dia komparasikan dengan apa yang dia dapati dalam peradaban Barat,  dimana dia hidup saat ini, yakni di Kanada. 
                Profesinya sebagai seorang jurnalis memungkinkan baginya untuk bisa menuturkan pengalaman (baca : pencarian) ‘spiritual’ yang sesungguhnya bebannya ‘sangat berat’ ini dalam bentuk yang ringan dan mengalir, sekalipun pada saat yang sama kita bisa menangkap emosi kemarahan, kekecewaan dan bahkan keputus asaan yang meledak-ledak, yang mendorongnya memproklamirkan diri sebagai Muslim Refusenik (Pemberontak). 
Secara anatomis, pengalamannya tersebut dituangkan ke dalam 223 halaman buku dengan 9 bab tulisan ditambah bagian pengantar dan penutup :
BAB I  Berjudul Kenapa Aku Menjadi Muslim Refusenik, berceritera tentang pengalaman-pengalaman pahit yang dia alami dalam hubungannya dengan Islam dan prakteknya. Perbudakan dan diskriminasi orang-orang Afrika Utara (Muslim) atas penduduk asli dan non Afrika (yang juga Muslim) yang dia lihat semasa kecil, pengalaman menikmati indahnya ‘kebebasan dan toleransi tanpa batas’ di Gereja Richmon, kekecewaannya atas praktik madrasah dan mesjid yang dikatakannya ‘mengkarantina 2 jenis kelamin’ sekaligus ‘mempartisi otak dan jiwa’, kemarahannya atas guru madrasah yang mengusir dirinya ketika pusing menjawab pertanyaan-pertanyaan kritisnya seputar doktrin Islam (terutama doktrin tentang posisi perempuan, praktek-praktek ibadah yang dianggapnya sangat ritmik dan kompleks, syariah yang menurutnya tak lebih dari praktek mekanik tanpa jiwa, serta doktrin antisemit yang terus dicekokkan oleh para pemuka Islam), menjadi inspirasi baginya untuk mulai melakukan pencarian identitas dan bersikap kritis terhadap keimanan, hingga akhirnya --dengan alasan setia pada keadilan—memutuskan untuk tetap menjadi Muslim tetapi Muslim yang Refusenik.
                  Pada bab ini, dia juga bercerita tentang kerja kerasnya menemukan ukuran-ukuran yang obyektif dalam praktek Islam, bagaimana apresiasinya terhadap kebebasan yang disuguhkan Barat yang memungkinkan bagi setiap orang –-termasuk dirinya—untuk bereksplorasi, bagaimana tanggapannya tentang sikap Khomeini yang pada 14 Pebruari 1989 memfatwakan hukuman mati pada penulis Ayat-Ayat Setan, Salman Rushdie atau tentang ketidaksukaannya terhadap serangan Edward Said atas gerakan orientalisme yang dikembangkan oleh Barat.
  Selain itu, Irshad juga secara ekspresif mengungkapkan kegalauan pikirannya atas statusnya sebagai lesbi di satu sisi dan identitas kemuslimannya disisi yang lain, melalui pertanyaan-pertanyaan semisal : “Jika Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Kasih menghendakiku menjadi lesbi, mengapa Dia masih memberiku kesempatan hidup ?” atau “ Bagaimana mungkin AlQur’an pada saat yang sama mencela homoseksualitas dan menyatakan bahwa Allah membuat sempurna segala sesuatu yang Dia ciptakan?” (h. 25); sebuah pertanyaan, yang menurut saya sangat naif dan apologetic.
BAB II berjudul Tujuh puluh Perawan? (h. 29). Di bagian ini, Irshad menyampaikan konklusinya bahwa selama ini Islam selalu menjadi agama tribal yang mengkhawatirkan akibat pencampuradukannya dengan budaya. Karenanya dia menyerukan reformasi yang dimulai dengan mempertanyakan validitas Al-Qur’an dan Hadits. Menurutnya, Al-Qur’an hanya menjadi   dokumen yang diimitasi ketimbang diinterpretasi. Sementara hadits, menurutnya hanya berfungsi sebagai kereta ekspres kebaikan yang membawa kita pada kematian otak!.(h.31).
                  Dengan keberanian (baca : kenekadan) penuh, Irshad juga menuding AlQur’an sebagai sumber hukum yang kaku, penuh kontradiksi, tidak transparan dan penuh teka-teki serta sangat jauh dari sempurna (h.33-38). Dia menyitir beberapa ayat sebagai hujjah atas pendapatnya, semisal ayat-ayat tentang nusyudz, ayat tentang siapa yang pertama kali diciptakan, apakah adam (laki-laki) atau Hawa (perempuan), ayat tentang perempuan yang dianalogikan sebagai ladang, dan lain-lain yang (menurutnya) secara implisit melegalisasi superioritas laki-laki atas perempuan.
                  Di bab ini, Irshad juga secara narsis menohok konsep jihad dalam Islam sehubungan dengan kasus 11 September, yang menurutnya juga menunjukkan inkonsistensi alQuran. Menurutnya, di satu sisi Islam membawa pesan damai, tapi disisi yang lain Islam mengajarkan kekerasan, intoleransi dan kesombongan rasial. Menurutnya, ada hal yang tidak ditangkap secara benar oleh umat Islam tentang hakekat ajaran Islam. Dia berpendapat, ketika Islam menyatakan banyak hal tentang Yahudi dan Nasrani, itu sesungguhnya menunjukkan bahwa Islam memang lahir dari rahim tradisi Yahudi dan Kristen yang karenanya mengharuskan saling pengertian. Hanya saja, inkonsistensi al-Quran lagi-lagi ditunjukkan ketika Islam menganjurkan fastabiqul khoirot dan saling ta’aruf antar bangsa, tetapi pada saat yang sama mengajarkan tribalisme, termasuk perang atas nama Allah. Hal ini menurutnya disebabkan ketidakmampuan Muhammad dan pengikutnya memahami pesan Tuhan tentang kasih sayang. Peristiwa hijrah, dalam kacamata Irshad Manji hanyalah momen ketika pesan kasih sayang yang diajarkan Tuhan berubah menjadi semangat pembalasan. Dan peristiwa ini menurutnya menjadi inspirasi awal bagi tradisi kekerasan dan terorisme atas nama agama yang berlanjut hingga saat ini. Atas dasar logika inilah dia –lagi-lagi—menyimpulkan, bahwa al-Quran penuh dengan kontradiksi, bahkan kesempurnaan dan akurasinyanya mencurigakan. Untuk ketidak akuratan al-Qur’an, antara lain dia menyitir tentang makna “hur” yang selama ini dimaknai jumhur sebagai bidadari perawan surga menurutnya tidak tepat. Makna yang tepat menurutnya bukan perawan melainkan kismis. Sehingga menurutnya, orang-orang yang berjihad bukan akan mendapatkan “hadiah” 70 perawan di surga, melainkan hanya “kismis”(h.46).
Bab III  berjudul Kapan Umat Islam Berhenti Berpikir?(h.47). Di bab ini, Irshad menyatakan kekecewaannya atas kebohongan-kebohongan kelompok Islam mainstream (istilah untuk kelompok syariah minded) untuk mengakui adanya masalah serius dalam Islam dan justru secara represif berupaya meromantisasi Islam. Dia menyebut kelompok ini sebagai kelompok yang beku secara intelektual dan rusak secara moral.
 Pada saat yang sama, dia mempertanyakan konsep dan praktika ijtihad sebagai tradisi berpikir independen yang menurutnya sudah kehilangan makna akibat munculnya otorisasi kelompok agamawan yang berujung pada otoritarianisme pemikiran. Padahal  menurutnya tradisi itu pernah membawa umat Islam pada jaman keemasan dimana toleransi begitu ditinggikan. Lebih lanjut dia berpendapat, bahwa  yang menyegel akhir jaman keemasan itu bukan karena Barat dan Perang Salib, melainkan semata akibat kelemahan diri sendiri. Dia sangat tidak sependapat dengan –dalam bahasa saya--  teori konspirasi terkait hubungan Islam-Barat. Dia lebih percaya bahwa umat Islam dan Islamlah yang bertanggungjawab atas berbagai kemunduran, khususnya akibat tertutupnya pintu ijtihad yang berdampak pada munculnya tradisi “memuja pengulangan-pengulangan hukum syariah”. Bahkan menurutnya, penjiplakan sudah menjadi norma dalam Islam, terutama penjiplakan terhadap intoleransi yang antara lain terlihat dalam konsep dan praktika Islam tentang dzimmah dan jizyah.
BAB IV  berjudul Gerbang dan Korset (h. 65) yang banyak bercerita tentang perjalanannya ke Israel dalam rangka meneliti tentang hubungan buruk Arab-Israel. Di bab ini, dia menceritakan tentang ketercengangannya mendapati fakta bahwa Yahudi-Israel tak seburuk gambaran media dan opini umat Islam yang selama ini didapatnya. Dia begitu mengagumi perlakuan orang Yahudi yang menyambut dan melayaninya dengan sangat baik, sikap toleransi mereka atas keberadaannya sebagai ‘muslim’, juga tentang solidaritas dan kebebasan pers yang dikembangkan masyarakat Israel. Pada saat yang sama, dia membandingkan bagaimana buruknya perlakuan orang-orang Muslim ketika dia memasuki wilayah mereka di Palestina, termasuk ketika dia terpaksa harus menggunakan pakaian tertutup dengan korset sebagai tanda warga negara asing dan dipaksa ditest membaca surah al-Fatihah untuk membuktikan kemuslimannya.
BAB V  berjudul Siapa Menghianati Siapa? (h. 84) masih menceritakan pengamatannya atas entitas Yahudi dan Muslim di Israel, berikut sikap (para penguasa) Arab atas apa yang terjadi di Palestina. Dia berkesimpulan, bahwa selama ini umat Islam sudah bertindak tidak adil. Begitu banyak dosa yang ditimpakan umat Islam kepada orang-orang Israel atas krisis pengungsi Palestina. Dia menyebut sikap tersebut sebagai kemunafikan Arab, yang terutama ditunjukkan oleh para penguasa mereka seperti Saddam, dan lain-lain, pada kasus Palestina, serta buruknya sikap negara-negara Islam yang masih memperlakukan perempuan seperti comberan dan membuat hidup seperti di neraka atas orang-orang non muslim.
BAB VI berjudul Wilayah-Wilayah Rawan dalam Islam (h. 116). Di bagian ini Irshad menyampaikan beberapa kritiknya atas ajaran Islam yang menurutnya membutuhkan kritik atas dirinya sendiri. Antara lain tentang homoseksualitas, tentang previlese yang diklaim oleh etnis Arab, tentang tribalisme padang pasir yang lekat dengan tradisi Islam, tentang ajaran-ajaran yang disebutnya sebagai ‘penjajahan agama’ semisal jilbab, penggunaan bahasa Arab (dalam ritual) dan praktek atau cara-cara beribadah. Dalam hal ini dia katakan: “membeo dalam hal pakaian, bahasa atau cara ibadah orang-orang padang pasir (termasuk shalat menghadap ka’bah berikut syarat rukunnya) tidaklah berarti mengikuti Tuhan yang universal, yang katanya (seraya menyitir ayat) menguasai Timur dan Barat dan mengerti segala bahasa.
                  Selain hal-hal diatas, dia juga membahas tentang fundamentalisme agama yang analisisnya diawali dengan mempertanyakan apakah al-Qur’an ditulis Allah dari awal sampai akhir?. Dia sendiri meragukan hal tersebut, bahkan berusaha meyakinkan, bahwa ada alasan kuat (tanpa menyebut alasannya) untuk menyatakan bahwa alQuran mempunyai ketidaksempurnaan karena telah dimanipulasi oleh kepentingan politik sepanjang sejarahnya. Menurutnya, puncak dari manipulasi tersebut kemudian berujung pada reformasi Turki berikut reaksi-reaksi yang mengikutinya dengan kemunculan tren “keranjingan masa permulaan Islam” yang ditunjukkan oleh kemunculan gerakan-gerakan semacam wahhabi (Ibn Taimiyah) dan ikhwanul Muslimin (Sayyid Quthb) hingga saat ini. Peristiwa penentangan kaum Muslim mainstream atas Kontes-kontes kecantikan dan maraknya aksi terror, dijadikan sebagai bukti atas munculnya gerakan-gerakan romantisasi Islam tersebut. Bahkan atas fenomena ini, Irshad mewanti-wanti : fundamentalisme tengah menghancurkan kita!
                  Dari fakta-fakta inilah, Irshad mengekspresikan beberapa obsesinya : (1) merevitalisasi ekonomi dengan melibatkan potensi perempuan, (2) memberi tantangan pada bangsa Arab padang pasir untuk melakukan penafsiran yang beragam terhadap Islam, (3) bekerjasama dengan Barat dan tidak malah melawannya. Jika ketiga obsesinya ini terwujud, Irshad berjanji akan berhenti menjadi refusenik.
BAB VII berjudul Operasi Ijtihad. (h. 137). Di bab ini Irshad lebih banyak bercerita tentang hubungan Islam dengan perempuan dan kaum minoritas. Menurutnya Islam sangat merendahkan perempuan dan minoritas, sehingga apa yang dia sebut sebagai operasi ijtihad sangat mendesak untuk dilakukan. Operasi Ijtihad yang dia maksud adalah interpretasi teks-teks keagamaan tentang perempuan dan kaum minoritas yang harus dimulai dengan cara memberdayakan perempuan muslim secara ekonomi (melalui wirausah/bisnis) dan melakukan percakapan antar iman.
BAB VIII berjudul Kaum Muslim Perlu Bersikap Jujur. (h. 184) yang diawali dengan pernyataan kekagumannya atas pikiran-pikiran Salman Rushdie. Di bab ini Irshad mengangkat gagasan pentingnya kaum muslim untuk introspeksi atas keagamaannya dan berhenti menghujat Barat dan AS sebagai biang kerusakan yang terjadi di dunia Islam. Secara retoris, Irshad mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan seputar pandangan kaum Muslim atas Barat yang secara keseluruhan menurutnya sangat subyektif dan tidak adil, bahkan menunjukkan bahwa tradisi Islam lebih buruk daripada Barat. Menurutnya, banyak hal yang bisa kaum muslim ambil dari Barat dan AS, yang dianggap lebih dewasa mensikapi perbedaan, menghargai individualitas dan siap melakukan otokritik. Karenanya, di bab ini Irshad begitu gencar meyakinkan kita untuk melakukan reformasi, dengan cara menanggalkan pembacaan literal atas agama sekaligus mengadopsi multikulturalisme dan individualitas yang dipraktekkan Barat dan AS, yang menurutnya terbukti memberikan ketenangan (h.187).
BAB IX berjudul Terimakasih pada Peradaban Barat. (h. 197). Di bagian ini Irshad secara ekspresif mengungkapkan rasa bahagianya bisa hidup di dalam peradaban Barat yang menurutnya dipenuhi dengan spirit eksplorasi sebagai oksigennya. Peradaban yang memungkinkan bagi setiap orang mengekspresikan dirinya tanpa dibayang-bayangi rasa takut dan terancam. Peradaban yang begitu mengedepankan pluralism warga dan pluralism ide, yang karenanya ‘iman Islamnya’ merasa terselamatkan. Di bagian ini dia banyak bercerita tentang pengamatannya terhadap orang-orang Barat pasca peristiwa 11 September yang tetap bersikap sopan pada orang-orang Muslim, berbeda dengan sikap orang Muslim terhadap Barat yang kerap menuding peristiwa itu sebagai hasil konspirasi melawan Islam.
                  Di bagian ini Irshad juga mengungkapkan mengenai hasil eksplorasi dan interpretasinya terhadap AlQur’an. Menurutnya ada tiga pesan penting alQuran yang banyak diabaikan umat Islam, yakni pertama, bahwa hanya Tuhan yang tahu kebenaran dari segala hal. Kedua, hanya Tuhan yang bisa menghukum orang yang tidak beriman dan itu berarti bahwa hanya Tuhan yang tahu apa itu keimanan sejati. Dan dengan mencermati tingkat-tingkat emosi dari alQuran yang luar biasa besar, sungguh hanya Tuhan yang Maha Tahu bagaimana semua itu berkaitan. Ketiga, kesadaran kita akan membebaskan diri kita untuk merenungkan kehendak Tuhan tanpa kewajiban apapun untuk tunduk pada tekanan dari prinsip atau tahapan tertentu.
BAGIAN PENUTUP. Di bagian ini Irshad banyak mengutip surat-surat tanggapan dan dukungan atas perjuangannya melawan apa yang disebutnya sebagai ‘penjajahan agama’. Beberapa catatan penting mengakhiri “tantangan-tantangan”nya dengan menyatakan bahwa Islam yang terreformasi tidak harus menjadi proyek yang lumpuh. Menurutnya,  kaum muslim di Barat mempunyai kesempatan luhur untuk menghidupkan ijtihad sebagai tradisi berpikir independen dalam Islam. 
Komentar Saya

                Terus terang, saya tidak terlalu surprise atas gagasan pokok dari  tulisan karya Irsyad Manji, kecuali atas caranya menyampaikan gagasan-gagasan tersebut yang saya nilai sangat berani dan terang-terangan. Jelas, bahwa saat ini Irshad Manji sedang memposisikan dirinya berlawanan dengan pandangan kaum Muslim Mainstream, sebab selain sebagai seorang feminis yang kerap menggugat konsep-konsep Islam yang dianggap mengukuhkan ketidakadilan sistemik kepada perempuan, dia juga seorang lesbian yang dalam pandangan Islam –bahkan dalam pandangan agama manapun-- sangat dicela dan tak terampunkan.
                Adapun beberapa gagasan pokok yang saya tangkap dari karya Irshad Manji ini antara lain :
1.        Dia ingin ‘membuka mata’ kaum muslim tentang adanya ketimpangan/disparitas antara realita agama yang mereka anut dengan gagasan idealnya. Ketertutupan kaum muslim atas fakta ini dia anggap telah menyebabkan fanatisme membabi buta yang terekspresikan pada sikap kaum muslim yang secara umum intoleran, rasis dan keras sebagaimana secara pribadi dia alami sepanjang hidupnya. Menurutnya, sikap-sikap semacam ini bukan semata karena ‘kesalahpahaman’ umat Islam terhadap ajaran Islam, melainkan akibat ‘cacat bawaan’ dari ajaran Islam sendiri, sebagaimana kritik pedasnya terhadap otentisitas dan validitas al-Qur’an-Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam. Persoalan seputar ajaran Islam tentang perempuan, hak-hak minoritas, pandangan terhadap Israel dan jihad, secara konsisten dia ekspose sebagai contoh buruk ajaran Islam. Pada saat yang sama, sebagai solusinya dia munculkan konsep ijtihad dengan pemaknaan baru, yang bukan sekedar gagasan merekonstruksi, melainkan mengarah pada ajakan mendekonstruksi ajaran Islam.
2.       Dia ingin meyakinkan kaum muslim, bahwa kebenaran agama adalah relative, sementara relativisme yang bersumber dari akal adalah mutlak benar. Karenanya, dia menolak ideologisasi agama (islam), dalam arti menolak Islam sebagai aqidah yang melahirkan sistem aturan kehidupan, baik menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan (ajaran tentang iman, aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya (masalah makanan, minuman, pakaian, akhlaq) dan hubungan manusia dengan manusia yang lainnya (poleksosbudhankam). Bahkan dia menolak adanya prinsip ketaatan sebagai konsekuensi iman. Baginya, iman (secara keyakinan) kepada Tuhan adalah cukup, sementara prinsip ketaatan atau tunduk akan kehendak Tuhan (sebagaimana syariah) tidak boleh lahir atasnama kewajiban, melainkan harus lahir dari sebuah kesadaran. Dengan demikian menurutnya, apapun ekspresi keimanan yang ingin ditunjukkan seseorang selama lahir dari kesadarannya, maka itu harus diterima sebagai sebuah keniscayaan, termasuk ketika seorang Muslim shalat dengan kreasinya sendiri atau bahkan jika tidak shalat sama sekali. Dengan paradigma ini pula, dia ingin melegalisasi keimanannya di satu sisi dan kelesbianannya disisi yang lain dengan jargonnya : “Beriman tanpa rasa takut”.
3.       Dia ingin mengubah pandangan umat Islam mainstream terhadap Barat dan Israel. Pengalaman ‘manis’ pribadinya saat bersentuhan dengan ‘sedikit’ peradaban Barat dan Israel, menjadi dasar baginya untuk menyampaikan puji-pujian yang nyaris tanpa batas, seolah ingin menyatakan bahwa pandangan kaum Muslim dan ajaran Islam tentang keduanya selama ini salah besar dan tidak adil. Dalam pandangannya, Barat (khususnya AS) dan Israel adalah dua entitas yang jauh lebih beradab daripada kaum muslim, hingga kaum muslim harus belajar, bahkan berterimakasih (sebagaimana yang dilakukannya dengan senang hati) kepada mereka.
4.      Dia ingin meyakinkan masyarakat dunia tentang bahaya revivalisme Islam atau fundamentalisme Islam. Meski tidak secara eksplisit seruan ini disampaikan, akan tetapi pengkaitan antara buruknya kondisi ril umat Islam dengan ajaran Islam merupakan cara jitu untuk meyakinkan bahwa ajaran Islam anti kemajuan. Begitupun pengkaitan aksi-aksi terror yang banyak terjadi atasnama Islam dengan ajaran Islam menjadi alat ampuh untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama penyebar terror. Dan karenanya seruan-seruan untuk kembali kepada ajaran Islam, atau yang dia sebut gerakan meromantismekan Islam harus diwaspadai bahkan harus diberangus.
Bahwa kaum muslim punya segudang persoalan memang tidak bisa dinafikan. Senyatanya, hari ini kaum muslim memang mengalami ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan. Secara politik dan ekonomi negara-negara mereka tidak punya bargaining, bahkan cenderung menjadi objek neo imperialisme negara-negara besar kapitalis, termasuk Yahudi. Secara budaya, mereka juga sudah terjajah. Food, Fashion, Fun, Film menjadi alat efektif yang digunakan negara-negara besar tadi untuk menjamin imperialisme politik mereka dan mengukuhkan cengkraman hegemoni kapitalisme global (sebagai pasar dan sumber bahan baku potensial) sekaligus menggiring kaum muslim membebek modernisasi Barat hanya pada aspek-aspek artifisial semata.
Benar juga bahwa kondisi di atas bukan seluruhnya kesalahan Barat dan Yahudi. Kaum Muslim bahkan punya andil besar dalam memperpuruk dirinya sendiri dalam kubangan kehinaan ini. Kaum Muslim sudah lama kehilangan jati dirinya sebagai umat Islam yang khoiru ummah sejalan dengan hilangnya kepemimpinan berpikir mereka yang sahih dan fitri. Yakni, akidah dan sistem Islam sebagai kepemimpinan berpikir yang akan menuntun mereka menjalani kehidupan, memecahkan problema-problema yang muncul, mendorong peningkatan kualitas hidup dengan pengembangan ilmu dan teknologi dan menggencarkan berbagai eksperimen untuk memperoleh inovasi-inovasi baru sebagaimana ini semua ditunjukkan oleh generasi kaum muslim terdahulu. Kini, mereka jauh tertinggal oleh Barat, yang sebelumnya justru terdorong memproses kebangkitan setelah persentuhannya dengan peradaban gemilang Islam di abad pertengahan.  Melalui Revolusi Perancis, lahirlah pemikiran sekularisme sebagai kepemimpinan berpikir mereka, yang dengannya mereka bangun peradaban baru, yakni kapitalisme dengan segala ide turunanya, yang lambat laun menggantikan kepemimpinan Islam atas dunia hingga sekarang.
Namun demikian, saya tidak sepakat jika fakta buruk tadi dihubungkan dengan ajaran Islam. Fakta buruk adalah satu sisi, sedangkan ajaran Islam ada di sisi yang lainnya. Penggunaan logika deduktif (generalisasi) pada kasus-kasus sebagaimana yang disebutkan Irsyad Manji terkesan terlalu menyederhanakan masalah. Bagaimana bisa, pengalaman dan pengamatan pribadi atas kasus yang kuantitasnya juga terbatas, bisa dijadikan dalih untuk menyimpulkan bahwa ada yang salah dari ajaran Islam (bukan sekedar salah persepsi terhadap ajaran Islam). Secara imani, keyakinan seperti ini tentu tak layak dimiliki oleh orang yang mengaku beriman, bahkan kontradiktif dengan pengakuan keimanan sebagaimana yang diklaim Irsyad atas dirinya sendiri. Iman atas Islam mana yang dia maksudkan? Terlebih, secara fakta, kaum muslimin saat ini tidak sedang hidup dalam sistem Islam melainkan dikungkung oleh dominasi kapitalis sekuler di seluruh bidang kehidupan, sehingga tidak fair jika Islam (kaum muslim sebagai korban) dipersalahkan sebagai biang terjadinya kemunduran kaum Muslim. 
Adapun berbagai fakta yang dia jadikan dalih untuk mengatakan bahwa Islam itu buruk, memang tak bisa dinafikan adanya. Namun hal ini harus dibaca sebagai sebuah penyimpangan penerapan ajaran Islam, bukan menunjukkan kerusakan ajaran Islam. Munculnya kasus-kasus perbudakan, perlakukan buruk atas perempuan dan minoritas, indoktrinasi dalam proses penanaman keimanan, intoleransi diluar masalah akidah dan ibadah, terorisme (jihad diluar konteks pembelaan diri) adalah bentuk-bentuk penyimpangan dalam penerapan Islam. Karena faktanya, jika ditelaah, Islam justru melawan perbudakan, meninggikan harkat martabat perempuan dengan cara yang sahih dan fitri (bukan dalam perspektif yang dikembangan feminis/genderis), mengajarkan toleransi dan harmoni, serta mengutuk tindakan terror. Penyimpangan ini niscaya, mengingat pemikiran umat sudah sedemikian lemah akibat pembodohan politik yang dilakukan ratusan tahun oleh penjajah dan selanjutnya diperkukuh oleh  penerapan sistem pendidikan sekuler di dunia Islam.
Terkait dengan konklusi ini, bahkan saya berpikir, bahwa keberadaan orang-orang semisal Irsyad Manji adalah produk dari proses sekularisasi Islam. Betapa tidak? Pengagungannya atas akal dan gagasan deidiologisasi Islam melalui dekonstruksi alQur’an yang diserukannya, bukan lagi sekedar upaya menyempitkan makna Islam sebagai sistem hidup yang komprehensif menjadi sekedar sistem aqidah dan ibadah ritual saja, melainkan juga upaya berani mengebiri Islam hanya  sebagai keyakinan saja, tanpa embel-embel ibadah sebagai manifestasi iman. Dalam pandangannya, iman saja sudah cukup menjadikannya muslim, tanpa harus terikat oleh aturan, dan pembatasan-pembatasan lainnya. Dan iman tanpa konsekuensi seperti ini menurut saya justru tidak masuk akal.
Begitupun dengan keberaniannya menghujat alQur’an dan Hadits, menjadi bukti betapa sekularisme telah merasuk dan menjadi hal yang sesungguhnya diimani oleh Irsyad Manji. Pada saat yang sama, tanpa sadar pengalaman pahit yang dialami dalam hidupnya telah membentuk emosi sekaligus praanggapan (a priori) bahwa apapun yang berasal dan berbau Islam, pasti buruk. Emosi dan praanggapan subyektif inilah yang kemudian dia jadikan sebagai kacamata untuk menilai Islam, termasuk menilai sumber utama pemikiran Islam, yakni alQur’an dan alHadits.  Dalam hal ini, Irsyad menggunakan pendekatan hermeneutik --yang sebenarnya hanya layak digunakan pada objek kajian empirik yang bisa diuji dengan kaidah eksperimental-- sebagai metoda berpikirnya. Pendekatan ini dia gunakan untuk menguji keabsahan (otentisiitas dan validitas) alQuran. Padahal otentisitas dan validitas alQur’an sesungguhnya bisa dibuktikan oleh akal dan diuji secara ilmiah, bahwa dia betul-betul Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad dalam bahasa Arab dan disampaikan secara muttawatir. Penggunaan metode hermeneutik inilah yang menyebabkan Irsyad Manji tak mampu menangkap hakekat syar’iyah dari alQur’an, melainkan hanya mampu menangkap hakekat lughawiyahnya saja. Terlebih, metode berpikir ini, secara konsep memang menafikan/menolak anggapan, akan tetapi faktanya para pengguna metode ini pasti akan terjebak dalam anggapan yang telah dibuatnya (disebut hermeneutic cyrcle, antara lain anggapan yang lahir dari pengalaman hidupnya seperti kasus Irsyad atau anggapan yang lahir dari paham sekulaisme lainnya). Itulah kenapa Irsyad sampai berani berkesimpulan, bahwa alQur’an adalah kitab yang Inkonsisten, tidak valid, penuh pertentangan, mencurigakan, dan lain sebagainya, sekalipun ironisnya pada saat yang sama dia juga menggunakan dalil-dali alQur’an untuk melegitimasi pemikiran-pemikiran dan sikap-sikap liberalisnya. 
Adapun mengenai pendapatnya bahwa kebenaran adalah relative sementara relativisme yang berdasar akal itu mutlak benar, juga tidak bisa saya terima. Menurut saya, kebenaran dalam masalah iman itu mutlak, sekalipun mutlak untuk diri sendiri. Jadi klaim atau keyakinan seseorang bahwa semua benar atau semua salah dalam masalah Iman, merupakan logika yang dalam istilah Prof. Dr. Juhaya tidak memiliki self consistency. Artinya, pernyataannya tersebut menyalahi keimanannya sendiri. Bagaimana bisa dia menyatakan beriman pada kebenaran Islam (misalnya) sementara pada saat yang sama menyatakan benar kepada ajaran yang lainnya. Lantas, jika dia beriman, iman kepada agama mana yang dia maksudkan? Apa alasan memilih ajaran A dan tidak ajaran B jika seseorang berkeyakinan bahwa semuanya benar atau semuanya salah? 
Saya pikir, klaim benar salah dalam masalah iman adalah sesuatu yang sangat masuk akal atau bisa diterima akal, sekalipun pada faktanya kita tak bisa memaksakan orang lain untuk memiliki pendapat yang sama tentang mana yang benar dan mana yang salah. Islam sendiri memiliki ajaran indah mengenai konsep ini.Yakni, La ikraha fi ad-din atau lakum dinukum waliyadin, yang dalam tataran praktis diterapkan melalui ajaran tasamuh (toleransi) sesuai batasan-batasan syariat (tidak melanggar akidah dan tidak mengarah pada sinkretisme). Sayangnya, konsep ini sering disalahgunakan justru untuk mendalili ajaran relativisme yang tak lebih dari sikap apologetik menghadapi ghazwul fikr dari Barat.
Saya sendiri sebenarnya merasa kurang nyaman dengan dikotomi Islam-Barat, mengingat persoalannya memang bukan sekedar persoalan Islam versus Barat, termasuk dalam hal ini Yahudi. Persoalannya, selain klaim akidah, sejarah memang menunjukkan bahwa selalu ada persoalan antara Islam dengan Barat, dalam hal ini menyangkut perang ideology, atau perang peradaban, apapun motifnya, apakah ekonomi atau politik (hegemoni kepemimpinan). Fakta terdekat, bagaimana baru-baru ini Amerika tanpa ampun menganeksasi Afghanistan dan Irak; Bagaimana Israel melakukan genocide atas penduduk Palestina sementara Amerika yang punya kekuatan politik sebagai globocop cuma diam, bahkan mengamininya; Bagaimana AS terbukti terlibat dalam serangkaian operasi intelejen dalam proses pergantian berbagai rezim kekuasaan di negeri-negeri Islam; Bagaimana AS membantu berbagai gerakan desintegrasi di negeri-negeri Islam;  Bagaimana AS melalui perpanjangtanganannya (PBB, NGO Internasional, Foundation, dll) melakukan intervensi atas berbagai kebijakan dalam negeri negara-negara ketiga, termasuk Islam; Bagaimana AS menggunakan berbagai standar ganda dalam menilai dan mensikapi berbagai fenomena politik yang terjadi atasnama HAM, Demokratisasi dan liberalisasi; Dan lain sebagainya. Bukankah semua fakta ini menunjukkan memang ada masalah antara dunia Timur dan Barat, yang diakui atau tidak merupakan penampakkan dari friksi ideologis Islam versus Kapitalisme? Pernyataan Bush tentang “The New Crussade” adalah salah satu buktinya.
Karenanya, atas dasar fakta-fakta telanjang ini, jelas bagi saya bahwa Irsyad telah berbuat tidak adil atas kaum muslim. Secuil pengalaman dan pengamatan pribadinya yang sangat subyektif dan personal atas ‘sisi baik’ peradaban Barat, seolah menghapus sebegitu telanjang perlakuan buruk Peradaban Barat dan Israel yang melampaui istilah terror atas Islam dan kaum muslim.  Jika sekian ratus orang Yahudi mati akibat serangan 11 September yang dilakukan oleh segelintir orang Islam (dengan asumsi klaim ini benar, mengingat banyak bukti yang menunjukkan kasus ini rekayasa) dikatakan sebagai terror, lantas apa sebutan bagi AS, dunia Barat dan Israel yang secara sistematis dan tanpa ampun membunuhi atau mendiamkan tragedy pembunuhan jutaan kaum muslim, termasuk penduduk sipil tak berdosa (wanita dan anak-anak) atasnama perang melawan terror atau bahkan sekedar untuk merampok tanah air mereka? Apa pula sebutan bagi AS, Israel  dan dunia Barat kapitalis, yang atasnama liberalisasi ekonomi dan globalisasi, melakukan penjajahan ekonomi dan pelan-pelan menghisap darah penduduk dunia ketiga, memeras sumberdaya mereka,  terutama umat Islam hingga mereka miskin dan tak berdaya? Dimanakah nurani dan akal pikiran orang-orang semacam Irsyad Manji?
Selain tidak adil, Irsyad juga kurang jeli menilai, bahwa peradaban Barat berupa gagasan individualisme, pluralisme dan liberalisme yang dia agung-agungkan sesungguhnya menyimpan banyak persoalan bagi peradaban Barat sendiri. Krisis moral yang terjadi (termasuk merebaknya perilaku seks bebas dan seks menyimpang sebagaimana dirinya) yang berdampak pada kehancuran generasi, krisis spiritual yang ditunjukkan dengan meningkatnya angka bunuh diri dan berkembangnya sekte-sekte aneh, krisis ekonomi yang sangat parah dan berdampak global sebagaimana terjadi hari ini, serta krisis-krisis lainnya –dimana menurut pengamatan John L. Esposito Amerika selalu menempati Nomor 1-- menunjukkan betapa rapuh peradaban Barat yang dibangun diatas landasan sekularisme dan penuhanan atas akal, jauh lebih parah dari apa yang pernah ditinggalkan oleh peradaban Islam yang pernah tegak belasan abad bagi peradaban dunia dan kemanusiaan. Lantas apa lagi yang layak dibanggakan dari peradaban Barat? Bukankan kemajuan material yang dicapai AS dan dunia Barat tak bisa menggantikan kerugian super besar akibat hilangnya makna kemanusiaan dan peradaban hakiki?
Dengan demikian, jelas bahwa pemikiran-pemikiran Irsyad Manjilah (menurut saya) yang mengandung banyak kelemahan, inkonsisten, tidak valid, bahkan mencurigakan. Keinginannya untuk beriman tanpa rasa takut  justru membuatnya terjebak dalam rasa takut. Takut atas kenyataan bahwa Islam dan Barat tak seperti yang dia harapkan, sehingga dia rela mengabaikan kemampuan intelektualitasnya untuk melihat segala sesuatu secara adil dan obyektif. Bahkan, dia rela mengabaikan iman hakikinya demi iman imajinatifnya. 
‘Ala kulli hal, bagi saya –sekali lagi—ini tidak mengejutkan. Orang-orang seperti Irsyad Manji akan selalu menjadi bagian dari skenario perang peradaban antara Islam dan Barat. Hanya saja, secara pribadi tentu saya berharap dunia ini berubah penuh dengan kedamaian, tanpa dikotomi Islam dan Barat atau embel-embel rasis apapun yang seringkali berujung pada tindakan terror dan ketidakadilan. Dan harapan ini hanya bisa wujud jika Islam sebagai ajaran yang diturunkan Dzat Pencipta manusia, Pencipta Timur dan Barat, dipahami dan diterapkan sebagaimana seharusnya. Karena Islam sejatinya adalah Rahmatan lil ‘Alamin
Terakhir, saya juga berharap, orang percaya bahwa intelektualitas dan optimalisasi rasionalitas akan sejalan dengan fitrah penciptaan manusia. Sehingga secara alami pula, mereka akan beriman dan sekaligus tunduk tanpa reserve (tasliman) pada kehendak pemilik Kehidupan, yakni Allah SWT, TANPA RASA TAKUT sedikitpun!  Firman ALLah :
Ÿxsù y7În/uur Ÿw šcqãYÏB÷sム4Ó®Lym x8qßJÅj3ysム$yJŠÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO Ÿw (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøŠŸÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJŠÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Rasul) sebagai pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya” (QS. An-Nissaa’ :65)
Wallahu a’lam bish-shawab. []

Tidak ada komentar: