Jumat, 13 September 2013

Ketika Ghibahtainment Menjadi Trend Pembicaraan

 Baru-baru ini lagi booming masalah pertunangan seorang artis yang batal karena kekasihnya seorang penipu ulung. Di semua channel TV ditayangkan sepertinya. Pagi tayang. Siang tayang. Sore tayang. Malam pun juga. Tak henti-hentinya masyarakat dicekoki berita yang berisi aib seseorang.

Ghibahtainment pun seakan mendapat durian runtuh. Bad news is a good news. Maka tak henti-hentinya masyarakat kita diputar hal-hal yang dibuat lebay dan fantastis. Makin kasak-kusuk ditambahi bumbu di sana-sini. Semakin sedap di tonton.

Tidak hanya itu saja, ternyata seakan menjadi trend kata-kata orang itupun diboomingkan oleh ghibahtainment yang diamini orang-orang galau yang memang eksentrik. Saya lihat di status facebook, twitter, dan media social lainnya kata-kata nyeleneh itu seakan jadi konsumsi jiwa-jiwa yang lapar akan lelucon.

Kasus hilangnya tempe menjadi lenyap, kasus mesir agak tersingkir, kasus Syiria pun raib dari pembicaraan di linimasa. Dan yang sangat membuat perih hati, banyak da’i yang ikut-ikutan LATAH menjadikan tren tersebut sebagai lelucon status facebook dan twitternya. Mungkin memang kata-kata yang nyeleneh dan agak crunchy di hati, renyah banget kalau harus jadi lelucon.

Tapi ingatlah, bahwa ghibah adalah haram. Membuat lelucon atas kehidupan orang yang sebenarnya privasi tetap saja meng-amini apa yang dibuat oleh ghibahtainment. Terserah sudut pandang apapun yang dipakai. Kehidupan selebriti yang memang menjadi buruan industri Ghibahtainment selalu menyuguhkan berita yang bias. Bahkan cenderung berisi fitnahan yang dibumbui hal-hal menarik sana-sini. Keakuratan berita tak jadi soal. Yang penting sensasional dan booming. Menghasilkan banyak uang.

Fenomena yang terjadi diatas memang layak disebut memprihatinkan. Masyarakat dibodohi oleh berita-berita vulgar yang harusnya tidak boleh dikonsumsi. Masalah pribadi menjadi milik bersama. Kehidupan artis menjadi panutan. Sehingga wajar saja masyarakat sulit menerima kebenaran karena sehari-hari dicekoki kebohongan. Berita yang selalu bias. Ini sangat memprihatinkan. Terlebih banyak aktifis dai yang ikut-ikutan latah menjadikan apa yang dikemas Ghibahtaiment sebagai kata-kata yang trend. Apakah karena takut dibilang ga update? Atau karena orang lain mempraktekannya kita (aktifis) juga layak mempraktekannya? Sebagaimana dikatakan oleh Al Quran jika kita mengikuti kebanyakan manusia niscaya mereka akan menyesatkanmu dari kebenaran.

Teringat kata-kata Ustadz Anis Matta dalam Narasi Penuh Hikmah dari Tulisan ke Tindakan yang diadakan pada acara IBF kemarin. Beliau berkata, “untuk menjadi seorang yang arif maka yang pertama harus dilakukan adalah kontrol mulut. Menjaga lisan. Usahakan yang keluar dari mulut adalah emas, kalau tidak bisa emas ya minimal perak, asal bukan racun”. Maka kelatahan kita atas fenomena yang terjadi di luar sana juga
harus dalam kontrol yang baik.

Ghibahtainment adalah industry yang penuh dengan hal-hal yang diharamkan. Sebagaimana zinah dan narkoba beserta miras-mirasnya. Ghibah adalah haram. Mau dilihat dari sudut pandang apapun, kita harus melakukan upaya untuk meminimalisir konsumsi ghibah. Sebagaimana meminimalisir perjudian, miras, zinah, dan narkoba.

Ada ikhwah diluar sana yang berjuang untuk menegakkan moral bangsa, misalnya mbak Azimah Subagijo yang menjadi pengurus KPI Pusat. Berkali-kali ghibahtainment mendapat sanksi dan teguran. Sebagaimana perjuangan ikhwah di KPI maka kita juga harus seiya sekata dengan mereka.

Mengikuti trend yang dibuat oleh ghibahtainment sama saja mengurangi bahkan mengkhianati perjuangan ikhwah kita di KPI. Bahkan menurut M Farrel berita yang bias termasuk di dalamnya Ghibahtainment benar-benar “completely manipulate people”. Memanipulasi agar masyarakat senada dengan industry Ghibahtainment.

Bagaimana barang ini stop dikonsumsi masyarakat jika kita jadikan trend setiap perkataannya? Bagaimana bisa membuat mereka bangkrut jika kita manggut-manggut mengikuti sensasi yang dibuat. Bahkan kita ikut larut dalam sensasi tersebut.

Belajar dari kisah keluarga yang berhasil membina 10 anaknya menjadi penghafal Al Qur’an, Ustadz Mutamimul ‘Ula dan Ustadzah Wirianingsih (yang milad pada hari ini). Mereka membina anak-anaknya dengan Al Qur’an dan menjauhkan dari Televisi. Kalau tidak saya salah ingat, sekeluarga bisa hidup tanpa menonton TV selama 4 tahun.

Salut sekali dengan pendidikan (tarbiyah) yang ditanamkan keluarga dai kepada anak-anaknya. Seharusnya begitulah tarbiyah membentuk kita agar menjadi pribadi yang qurani. Bagaimana mungkin kita di satu sisi mengharamkan ghibah namun disisi lain ikut-ikutan tren yang diboomingkan Ghibahtainment.

Dalam suatu ketika, Imam Hasan Al Hudaiby melihat dua orang ikhwah bertengkar adu mulut hingga saling membentak. Sang Imam berkata hal simpel saja, “Bagaimana mungkin kalian bisa memperbaiki ummat sedangkan kalian tidak bisa memperbaiki hubungan diantara kalian”.

Bagaimana mungkin Budaya Ghibah bisa dihilangkan sedangkan kita disini menikmati dan menjadikannya sebagai lelucon menyenangkan. Senang bukan?
Allah SWT menutup aib orang dengan sebaik-baiknya. Jika kita tau aib orang lain terkadang diri kita merasa lebih baik dari orang itu. Mengutuk bahkan menjadikan bahan olokan, padahal rasa “lebih baik” itu hanyalah fatamorgana prasangka diri. Merasa hati kita putih dan suci namun ternyata putihnya dari nanah di hati kita yang busuk. Allah sengaja menutupi aib orang lain untuk menjaga kebeningan hati kita.

Sebagaimana hadist arbain ke-7, bahwa “Ad-dienul Nasihat”. Agama ini adalah nasihat. Maka nasihat ini untuk diri sendiri yang utama dan juga bagi kita semua. Stop Ghibahtainment.

(Irfan Maulana Basya – KAMMI/islamedia)

Tidak ada komentar: