Selasa, 14 Mei 2013

DENSUS 88 VS KORUPTOR

Andai Densus 88 Bisa Dipinjam untuk Tangani Tersangka Koruptor

Tewasnya 7 tersangka teroris saya baca dan saya dengar tatkala masih bertugas di New Delhi, India. Saya mengikuti terus perkembangan Tanah Air, termasuk aksi Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri atau yang beken disebut Densus 88 yang menewaskan 7 tersangka teroris.

Dari sisi Polri, menghabisi orang yang baru tersangka teroris –masih tersangka loh– tentu saja suatu keberhasilan. Logika yang sering mengemuka adalah “antisipasi”, yaitu daripada teroris bertindak terlebih dahulu, lebih baik dihabisi saja agar tidak membahayakan orang lain.

Akan tetapi bila dilihat dari kacamata hukum dan hak asasi manusia (HAM) dan kebetulan saya melihatnya dari kacamata ini, rasanya kok ada ganjalan ya… Pertanyaannya sederhana; benarkah orang yang masih dijadikan tersangka bisa langsung dibunuh atau dihabisi nyawanya tanpa diberi kesempatan membela diri di pengadilan? Apakah Densus 88 tidak perlu lembaga peradilan (hukum) untuk memproses orang yang masih terduga atau tersangka ini?

Barangkali, perlu juga diluruskan cara kerja Densus 88 yang namanya sudah terkenal ke senatero dunia ini karena “keberhasilan” demi “keberhasilan” menghabisi tersangka teroris. Apakah sudah dibenarkan undang-undang membunuh orang yang masih dalam status terduga atau tersangka?

Mungkin tulisan ini tidak akan muncul kalau yang diburu itu adalah orang yang secara sah dan meyakinkan menjadi otak atau gembong teroris sebagaimana yang dilakukan terhadap Noordin M Top atau Dr Azhari. Saya pribadi akan menganggap itu sebagai prestasi. Tetapi ketika berhasil membunuh 7 tersangka teroris, saya harus menunda kata “prestasi” itu. Ini soal nyawa orang yang baru dijadikan tersangka atau terduga, bukan karena sah secara hukum telah melakukan perbuatan teror.

Tentu saja dengan tulisan ini tidak berarti saya mendukung terorisme atau simpati terhadap pelaku teror. Tidak. Saya hanya mempertanyakan saja apakah prosedur yang dilakukan Densus 88 dalam menghabisi nyawa 7 tersangka itu sudah sesuai undang-undang atau Densus 88 tidak perlu payung hukum untuk menghabisi siapa saja yang mereka anggap terduga atau tersangka teroris?

Selintas saya membandingkannya dengan tersangka koruptor, yakni para pejabat dan para politisi yang diduga atau disangka menyalahgunakan wewenangnya sehingga merugikan duit negara, atau politisi pelaku pencucian uang hasil kejahatan (korupsi), rasanya beda sekali perlakuannya. Bahkan jelas-jelas sudah tertangkap basah melakukan suap atau menerima suap pun sampai digiring ke tahanan, proses hukum dijunjung. Ketika persidangan berjalan dan si terdakwa divonis penjara, proses hukum tetap dihormati. Sebab, memang ada lembaga pengadil (atas kuasa negara) yang diberi tugas untuk menimbang salah-benar tindakan terdakwa. Bukankah proses ini yang benar?

Apakah tugas dan wewenang Densus 88 memang bisa “diperluas” menjadi semacam “peradilan berjalan” dengan membawa vonis mati (senjata api) di tangan selain menangkap tersangka teroris? Atau, vonis mati itu bisa langsung dijalankan saat operasi dilancarkan?

Kalau demikian, bisakah cara kerja Densus 88 ini dipinjam untuk memberantas para koruptor?

Rasanya KPK juga terlalu lembek dan terlalu sopan, hanya mau menyita properti (kendaraan) milik tersangka koruptor saja sampai harus mundur karena menerima perlawanan kader atau security partai tertentu dengan alasan tidak membawa surat penyitaan. Kalau ya tidak membawa surat penyitaan sesuai prosedur, artinya KPK juga lalai karena tidak memenuhi ketentuan yang sebagaimana seharusnya seperti yang digugat para petinggi partai tersebut.

Tapi, bukan ini yang saya persoalkan. Lebih karena beda perlakuan saja antara Densus 88 menangani tersangka teroris dengan penyidik KPK yang menangani penyitaan properti milik tersangka koruptor. Sekali-kali mbok ya…. gantian tugas dan wewenang begitu biar terasa adil kendati undang-undang tidak memungkinkannya; penyidik KPK menangani tersangka teroris, sementara Densus 88 menangani tersangka koruptor.

Tebak-tebak buah manggis, apakah kira-kira ada darah tersangka koruptor yang tertumpah kena berondong timah panas Antiteror sebagaimana darah tersangka teroris yang muncrat di mana-mana?

Mungkin ada yang mengira, barangkali saya sudah uedan menukar tugas dan wewenang Densus 88 dengan KPK yang tidak diatur undang-undang manapun. Boleh saja, tetapi ‘kan sama uedan-nya dengan cara Densus 88 menghabisi orang yang baru tersangka atau terduga tanpa memprosesnya terlebih dahulu di pengadilan? Kecuali kalau cara-cara itu memang dianggap sesuai hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia. Ya, monggo…Andai Densus 88 Bisa Dipinjam untuk Tangani Tersangka Koruptor

Tewasnya 7 tersangka teroris saya baca dan saya dengar tatkala masih bertugas di New Delhi, India. Saya mengikuti terus perkembangan Tanah Air, termasuk aksi Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri atau yang beken disebut Densus 88 yang menewaskan 7 tersangka teroris.

Dari sisi Polri, menghabisi orang yang baru tersangka teroris –masih tersangka loh– tentu saja suatu keberhasilan. Logika yang sering mengemuka adalah “antisipasi”, yaitu daripada teroris bertindak terlebih dahulu, lebih baik dihabisi saja agar tidak membahayakan orang lain.

Akan tetapi bila dilihat dari kacamata hukum dan hak asasi manusia (HAM) dan kebetulan saya melihatnya dari kacamata ini, rasanya kok ada ganjalan ya… Pertanyaannya sederhana; benarkah orang yang masih dijadikan tersangka bisa langsung dibunuh atau dihabisi nyawanya tanpa diberi kesempatan membela diri di pengadilan? Apakah Densus 88 tidak perlu lembaga peradilan (hukum) untuk memproses orang yang masih terduga atau tersangka ini?

Barangkali, perlu juga diluruskan cara kerja Densus 88 yang namanya sudah terkenal ke senatero dunia ini karena “keberhasilan” demi “keberhasilan” menghabisi tersangka teroris. Apakah sudah dibenarkan undang-undang membunuh orang yang masih dalam status terduga atau tersangka?

Mungkin tulisan ini tidak akan muncul kalau yang diburu itu adalah orang yang secara sah dan meyakinkan menjadi otak atau gembong teroris sebagaimana yang dilakukan terhadap Noordin M Top atau Dr Azhari. Saya pribadi akan menganggap itu sebagai prestasi. Tetapi ketika berhasil membunuh 7 tersangka teroris, saya harus menunda kata “prestasi” itu. Ini soal nyawa orang yang baru dijadikan tersangka atau terduga, bukan karena sah secara hukum telah melakukan perbuatan teror.

Tentu saja dengan tulisan ini tidak berarti saya mendukung terorisme atau simpati terhadap pelaku teror. Tidak. Saya hanya mempertanyakan saja apakah prosedur yang dilakukan Densus 88 dalam menghabisi nyawa 7 tersangka itu sudah sesuai undang-undang atau Densus 88 tidak perlu payung hukum untuk menghabisi siapa saja yang mereka anggap terduga atau tersangka teroris?

Selintas saya membandingkannya dengan tersangka koruptor, yakni para pejabat dan para politisi yang diduga atau disangka menyalahgunakan wewenangnya sehingga merugikan duit negara, atau politisi pelaku pencucian uang hasil kejahatan (korupsi), rasanya beda sekali perlakuannya. Bahkan jelas-jelas sudah tertangkap basah melakukan suap atau menerima suap pun sampai digiring ke tahanan, proses hukum dijunjung. Ketika persidangan berjalan dan si terdakwa divonis penjara, proses hukum tetap dihormati. Sebab, memang ada lembaga pengadil (atas kuasa negara) yang diberi tugas untuk menimbang salah-benar tindakan terdakwa. Bukankah proses ini yang benar?

Apakah tugas dan wewenang Densus 88 memang bisa “diperluas” menjadi semacam “peradilan berjalan” dengan membawa vonis mati (senjata api) di tangan selain menangkap tersangka teroris? Atau, vonis mati itu bisa langsung dijalankan saat operasi dilancarkan?

Kalau demikian, bisakah cara kerja Densus 88 ini dipinjam untuk memberantas para koruptor?

Rasanya KPK juga terlalu lembek dan terlalu sopan, hanya mau menyita properti (kendaraan) milik tersangka koruptor saja sampai harus mundur karena menerima perlawanan kader atau security partai tertentu dengan alasan tidak membawa surat penyitaan. Kalau ya tidak membawa surat penyitaan sesuai prosedur, artinya KPK juga lalai karena tidak memenuhi ketentuan yang sebagaimana seharusnya seperti yang digugat para petinggi partai tersebut.

Tapi, bukan ini yang saya persoalkan. Lebih karena beda perlakuan saja antara Densus 88 menangani tersangka teroris dengan penyidik KPK yang menangani penyitaan properti milik tersangka koruptor. Sekali-kali mbok ya…. gantian tugas dan wewenang begitu biar terasa adil kendati undang-undang tidak memungkinkannya; penyidik KPK menangani tersangka teroris, sementara Densus 88 menangani tersangka koruptor.

Tebak-tebak buah manggis, apakah kira-kira ada darah tersangka koruptor yang tertumpah kena berondong timah panas Antiteror sebagaimana darah tersangka teroris yang muncrat di mana-mana?

Mungkin ada yang mengira, barangkali saya sudah uedan menukar tugas dan wewenang Densus 88 dengan KPK yang tidak diatur undang-undang manapun. Boleh saja, tetapi ‘kan sama uedan-nya dengan cara Densus 88 menghabisi orang yang baru tersangka atau terduga tanpa memprosesnya terlebih dahulu di pengadilan? Kecuali kalau cara-cara itu memang dianggap sesuai hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia. Ya, monggo…

Tidak ada komentar: