Minggu, 21 Juli 2013

Keturunan Nabi dan Tiga Sosok Assegaf Yang Menghebohkan


Keturunan Nabi dan Tiga Sosok Assegaf Yang Menghebohkan
BILA ada seseorang atau sekelompok orang mengaku-ngaku sebagai keturunan Nabi, sebenarnya kalau secara umum sah-sah saja dan tidak salah sama sekali. Karena, pada dasarnya semua umat manusia di muka bumi ini merupakan keturunan Nabi Adam Alaihissalam, Nabi pertama. Namun, tidak semua keturunan Nabi Adam Alaihissalam beriman kepada Allah SWT dan mengakui Muhammad sebagai Rasul Allah. Artinya, secara umum, tidak ada yang ‘istimewa’ dengan status keturunan Nabi. Apalagi, yang sesungguhnya dinilai oleh Allah SWT bukanlah asal-usul keturunan seseorang tetapi tingkat ketaqwaannya kepada Allah.
George Bush mantan Presiden Amerika Serikat juga keturunan Nabi Adam Alaihissalam, begitu juga dengan Osama bin Laden dari Saudi Arabia dan Ariel Sharon dari Israel. Semua nabi yang jumlahnya ribuan, juga keturunan Nabi Adam Alaihissalam, begitu juga dengan para Rasul Allah. Sementara itu, tidak ada satu pun keturunan Nabi Muhamad SAW yang menjadi Nabi atau Rasul, kecuali kalau ada yang mengaku-ngaku, maka bisa jadi nabi dan rasul palsu pembawa kesesatan.
Dalam perspektif antropologis, ada fenomena ‘penghormatan’ terhadap keturunan Nabi Muhammad SAW yang muncul dari sebuah penafsiran atau penyikapan terhadap sebuah hadits (?) yang berbunyi: “Sesungguhnya keturunanku itu dari Fatimah.”
Maka, tersusunlah sebuah silsilah yang menjuntai hingga belasan abad kemudian dari Hadramaut (Yaman) hingga ke Tanah Abang (Jakarta). Yaitu sebuah silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Fathimah ra yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib ra.
Maka, muncullah sebuah penyebutan khusus bagi keturunan Fathimah ra ini, yaitu Habib (yang tercinta), Sayid (tuan), Syarif (yang mulia), dan sebagainya. Di Jakarta, sebutan yang paling populer untuk ‘menghormati’ para keturunan Nabi Muhammad dari jalur Fathimah ra ini adalah habib atau habaib (jamak).
Tidak semua keturunan Arab bisa disebut habib. Misalnya, Abu Bakar Ba’asyir mantan Amir Mujahidin MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) yang kini memimpin Jama’ah Ansharut Tauhid meski merupakan keturunan Arab dari Yaman, bukanlah tergolong habib, dan tidak pernah mau dipanggil habib atau diperlakukan sebagai habib. Ba’asyir memang bukan keturunan Fathimah ra, maka tidak disebut habib, berbeda dengan Riziek Shihab Ketua FPI (Front Pembela Islam).
Dari sejumlah komunitas keturunan Fathimah ra ini, mereka terkelompokkan ke dalam sejumlah fam (nama keluarga) seperti Syihab, Shahab, Assegaf, dan sebagainya. Dari sejumlah fam komunitas keturunan Fathimah ra ini, salah satu yang menonjol adalah Assegaf. Bahkan tiga sosok yang cukup menghebohkan ‘dunia persilatan’ di Indonesia, menyandang nama Assegaf. Siapa saja mereka?
Mahmud bin Ahmad Assegaf
Nama yang menghebohkan ini pasti tidak begitu mudah dikenali bila tidak disebut nama aslinya. Nama Mahmud bin Ahmad Assegaf adalah nama alias dari sosok bernama Omar Al-Farouq, kelahiran Kuwait 24 Mei 1971.
Menurut catatan majalah Tempo edisi 25 November – 1 Desember 2002, Al-Farouq merupakan tokoh kunci Al-Qaidah di Asia Tenggara yang berperan membekingi dana gerakan Jamaah Islamiyah (JI), dan merupakan tangan kanan Osama bin Laden yang oleh Geroge Bush disebut teroris. Al-Farouq juga diduga terlibat pada sejumlah aksi peledakan gereja di Indonesia pada malam Natal 2000, kerusuhan di Poso dan Ambon.
Di Indonesia, Al-Farouq punya beberapa buah KTP. Bahkan ia sempat menikahi Mira Agustina pada 26 Juli 1999, dan punya dua orang anak. Menurut Mira, suaminya itu meski sering dipanggil Abu Faruq, namun bernama asli Mahmud bin Ahmad Assegaf, keturunan Arab yang lahir di Ambon pada tanggal 24 Mei 1971 dan fasih berbahasa Indonesia dengan logat Ambon. Begitu pengakuan Mira.
Pada tanggal 5 Juni 2002, Al-Farouq ditangkap aparat di Masjid Raya Bogor, dan langsung dideportasi ke Amerika Serikat, karena diidentifikasi sebagai warga negara asing yang menjadikan Indonesia sebagai arena menebar teror. Dari Bogor, Al Farouq langsung dibawa ke Halim Perdana Kusumah. Di Halim, sudah menunggu pesawat militer AS yang membawa Al-Farouq ke tempat tujuan selanjutnya (penjara AS di Baghram, Afghanistan). Hal itu dimungkinkan karena adanya kerja sama antara intelijen Indonesia dan Amerika dalam perang melawan teror.
Beberapa bulan kemudian, September 2002, muncul wawancara antara majalah Time dengan Al-Farouq. Antara lain berisi pengakuan Al-Farouq bahwa ia merupakan wakil senior Al-Qaida di Asia Tenggara dengan tugas merencanakan sejumlah serangan terhadap kepentingan AS di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam dan Kamboja.
Menurut Manullang (mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Nasional), Al-Farouq adalah agen binaan badan intelejen Amerika Serikat (CIA), yang ditugaskan menyusup dan merekrut agen lokal melalui kelompok-kelompok Islam radikal. Karena tugasnya sudah selesai, dibuat skenario tertangkap. Hal tersebut dikatakan Manullang kepada Tempo News Room pada hari Kamis sore (19 Sep 2002).
Pada 12 Juli 2005, Al Farouq dikabarkan berhasil kabur dari penjara Baghram yang super ketat itu. Namun kasusnya baru terpublikasikan pada November 2005. Hampir satu tahun kemudian, pada hari Senin tanggal 25 September 2006, Al-Farouq dikabarkan tewas akibat ditembak tentara Inggris di Irak. Menurut Mayor Charlie Burbridge juru bicara militer Inggris, Al-Farouq ditembak mati setelah terlibat baku tembak dengan 250 tentara Inggris di sebuah rumah tempat dia bersembunyi di Kota Basra, Irak. (http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=156466)
Habib Abdurrahman Assegaf
Nama Habib Abdurahman Assegaf menjulang ketika terjadi pengerahan sejumlah massa ke markas Ahmadiyah di Parung pada hari Jum’at tanggal 15 Juli 2005, sekitar pukul 16:00 wib. Begitu juga ketika mencuat kasus aliran sesat Al-Qiyadah Al-Islamiyah, sosok Habib Abdurrahman Assegaf kembali menonjol dalam rangkaian aksi menghancurkan dan membakar gubuk tempat pertapaan Ahmad Mushaddeq (pemimpin Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang mengaku sebagai nabi) yang berlokasi di lereng kaki Gunung Salak Endah, Desa Gunung Bunder, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Selasa 30 Oktober 2007. Habib Abdurrahman Assegaf pada saat itu merupakan pemimpin atau koordinator GUII (Gerakan Umat Islam Indonesia). Sebelumnya, Al-Qiyadah Al-Islamiyah telah dinyatakan sesat oleh MUI pada 4 Oktober 2007.
Menurut Arrahmah.com, Abdurrahman Assegaf adalah seorang habib palsu yang bernama (asli) Abdul Haris Umarella bin Ismail Umarella. Namun ada juga yang mengatakan nama aslinya adalah Amsari Umarella. Ayahnya asal Makassar dan ibunya berasal dari Ambon.
Amsari alias Abdul Haris yang kini menjelma menjadi Habib Abdurrahman Asegaf, pernah menempuh pendidikan di SMP Negeri 2 yang terletak di jalan Mardani Raya, Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Setelah lulus dari SMPN 2, Amsari melanjutkan ke SMA Negeri 68 jurusan IPS. Selama bersekolah di SMAN 68, Amsari tidak tertarik bergiat di rohis (rohani Islam, sebuah lembaga ekstra yang bergerak di bidang pembinaan rohani atau keagamaan). Bahkan saat itu ia termasuk yang tidak mendukung jilbab. Setelah lulus dari SMAN 68, Amsari melanjutkan pendidikan di Unkris Pondok Gede, Jakarta. (http://www.arrahmah.com/index.php/news/read/5459/iapa-habib-palsu-abdurrahman-assegaf)
Nur Hidayat Assegaf
Februari 1989, terjadi peristiwa berdarah-darah di Lampung, yang dikenal dengan nama Kasus Talangsari. Sebuah komunitas pengajian pimpinan Warsidi yang merupakan serpihan Darul Islam (NII), disapu bersih aparat, karena telah dengan terang-terangan mempersiapkan sebuah perlawanan terhadap pemerintahan, dan membunuh Kapten Soetiman (yang waktu itu menjabat sebagai Danramil Way Jepara).
Salah satu tokoh pencetus kasus Talangsari ini adalah Nur Hidayat, mantan Karateka Nasional yang pernah menjadi bagian dari kelompok pengajian usroh Abdullah Sungkar. Sosok Abdullah Sungkar adalah salah satu tokoh DI/TII atau NII yang kemudian melepaskan diri dari NII dan membentuk Al-Jama’ah Al-Islamiyah (JI).
Dalam kasus Talangsari (Lampung, 1989), Nur Hidayat merupakan tokoh penting. Antara lain, ia menjadi Amir Musafir dan penentu bagi orang-orang yang akan ‘hijrah’ ke Talangsari. Bahkan setelah kasus Talangsari pecah, Nur Hidayat merencanakan sejumlah aksi teror lanjutan, sebagai perlawanan atau balasan terhadap penyerbuan aparat ke Talangsari. Yaitu, mengacaukan Jakarta dengan jalan membakar sejumlah pom bensin, membakar Pasar Pagi, Glodok dan Tanjung Priok. Hanya saja, rencana itu berhasil digagalkan aparat.
Beberapa tahun belakangan, Nur Hidayat melengkapi namanya dengan membubuhi nama fam Assegaf, dan berprofesi sebagai rohaniwan (ustadz, penceramah agama). Hal ini setidaknya bisa dilihat pada harian Republika edisi 30 Januari 2001 dalam serial tulisan bertajuk Melacak Bom di Malam Natal. Pada tulisan serial itu, Republika menuliskan nama Nur Hidayat dengan tambahan Assegaf. Padahal, menurut mantan isteri pertamanya, Nur Hidayat bukan keturunan Arab, apalagi bermarga Assegaf yang tergolong ahlul bait atau keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Fathimah ra.
Berkenaan dengan Bom Malam Natal yang terjadi 24 Desember 2000, Nur Hidayat memang pernah berkoar-koar bahwa ia tahu siapa pelaku di balik kasus yang menghebohkan itu. Ketika diwawancarai oleh Rakyat Merdeka pada tanggal 29 Januari 2001, Nur Hidayat menyatakan bahwa ia tahu akan terjadinya peledakan Bom Malam Natal 2000 dari seorang kawannya asal Bandung, bahkan sang kawan itu berusaha mengajaknya terlibat, namun Nur Hidayat menolak. Meski sudah secara terbuka mengatakan hal itu, namun Nur Hidayat tidak ikut diciduk aparat dalam kasus Bom Malam Natal 2000.
Dari data-data di atas, nampaknya fam Assegaf dibanding fam ahlul bait lainya, sering ‘dimanfaatkan’ oleh orang-orang yang mengerti adanya benefit di balik penggunaan nama keluarga keturunan Fathimah ra tersebut. (haji/tede)

Tidak ada komentar: