Senin, 10 Juni 2013

Abdullah Al-Qashimy; ‘Ibnu Taymiyah’ Modern Yang Meninggal Dalam Keadaan Murtad

ABDULLAH Al-Qashimy, lahir di Buraydah-Arab Saudi pada tahun 1907, tapi ia bukanlah keturunan Qashimy atau bahkan Saudi. Banyak perbedaan pendapat mengenai hal ini, namun menurut Syeikh Abu Abd al-Rahman Ibnu Aqil al-Zahiri, yang pernah berdebat dengan Qashimy mengatakan bahwa ayah Qashimy adalah seorang keturunan Mesir dari Sa’id yang datang ke Qasim untuk bekerja. Syeikh juga menyebutkan bahwa Qashimy benci ketika orang berbicara tentang warisan budaya Mesir.
Bagaimanapun, Qashimy adalah seorang mahasiswa teladan. Dia adalah orang pertama di era modern yang menulis kritikan terhadap Universitas Azhar. Qashimy juga menulis kritikan-kritikan baik tentang ateis dan sekuler berkaitan dengan pembenaran hadits tentang geografi dan obat-obatan dan hal-hal seperti itu. Dia memiliki satu masalah awal, dia selalu menulis puisi tentang dirinya di sampul dalam buku-bukunya dengan bahasa yang benar-benar megah dan mandiri.

Qashimy dikenal karena kecerdasan dan ketekunannya sebagai mahasiswa, tetapi juga dikenal dengan kepura-puraan dan narsisme. Ia disebut-sebut sebagai Ibnu Taimiyah di jamannya karena dia dianggap ahli dalam setiap bidang ilmu-ilmu agama, seorang mufassir, muhaddits, faqih, sekaligus mu’arrikh. Tapi dia sering mengatakan hal-hal yang aneh, ia menanyakan mengapa shalat itu diwajibkan dan pertanyaan aneh tentang apa saja cacat/kekurangan agama Islam? Pertanyaan yang tidak biasa diajukan oleh mahasiswa.

Dia menghilang dari peradaban menuntut ilmu untuk sementara waktu. Dia berpindah mempelajari buku-buku filsafat dan beberapa tahun kemudian, menulis beberapa buku modernis yang ‘aneh’. Ketika para syeikh di Saudi mencoba untuk membuatnya diam, ia mengeluh kepada Syekh Sayyid Quthb. Quthb pada awalnya membela Qashimy untuk berbicara, tetapi ketika Qashimy mengirim salinan buku dan artikel barunya kepada Quthb, Quthb panik dan menganggap Qashimy mencoba untuk menghancurkan
Islam.

Akhirnya Qashimy keluar dari agama Islam dan salah seorang putranya murtad bersamanya, dan mereka kemudian tinggal di Mesir. Dia mencoba untuk membentuk gerakan politik ateis di sana, tapi Jamal Abdel Naser menemukannya dan Qashimy dipenjara lebih dari sekali. Ia juga menghabiskan waktu di Libanon dan terlibat dengan Literary Society, mereka memperlakukan Qashimy seperti pejabat kelas satu. Akhirnya, Syeikh Ibnu Aqil al-Zahiri dengan berbagai keahliannya bertemu Qashimy di Garden City. Mereka berdebat setiap malam, dan Syekh Ibnu Aqil menghabiskan sisa malam dengan menulis buku menceritakan kembali perdebatannya dengan Qashimy. Buku itu selesai dalam semalam tepat sebelum fajar dengan judul “A Night in Garden City.”

Menurut Syeikh Ibnu Aqil, secara lisan Qashimy mirip dengan Immanuel Kant dan John Stuart Mill, dan setiap kali Syeikh Ibnu Aqil mengutip pernyataan filsuf sekuler kafir, Qashimy akan mengganti topik pembicaraan. Pada dasarnya, dia akan membuat tuduhan mengenai keberadaan Allah secara harfiah pada buku Pencerahan dan filsuf pasca-Pencerahan. Dia adalah seorang yang arogan sepanjang hidupnya dan tidak mau bertobat sampai akhir hayatnya. Dia meninggal karena kanker di rumah sakit ‘Ain Syams Kairo-Mesir pada tanggal 1 September 1996, menuju kematian yang panjang dan lambat.

Jadi, mengapa ia murtad jika disebut Ibnu Taimiyah era baru? Bukan hanya karena filsafat, karena banyak sarjana Muslim yang menyelidiki ilmu ini tapi tidak sampai murtad. Tampaknya hatinya selalu sakit, mengingat sikapnya yang sombong, narsis dan sebagian besar hidupnya selalu mencari kekurangan segala sesuatu hal bahkan setelah menjadi seorang ‘alim. Beberapa orang ditakdirkan berakhir seperti itu dan jumlah pengetahuan tidak akan melindungi mereka dari Iblis jika mereka menyambutnya dan mematuhi bisikannya, apalagi jika terlalu terkesan dengan diri mereka sendiri.

Dia memiliki setidaknya satu anak yang tinggal di Arab yang beragama Muslim. (islampos)

Tidak ada komentar: